Beranda blog

Author dari Dragon Ball, Akira Toriyama, Meninggal Dunia

0

Anime News Plus – Kabar duka datang dari industri Anime dan Manga, dimana Mangaka terkenal dari seri Dragon Ball yakni Akira Toriyama, tutup usia pada umur 68 Tahun. Penyebab meninggalnya Bapak Shonen Dunia ini disebabkan oleh penyakit Hematoma Subdural yang dideritanya. Hal ini disampaikan langsung oleh Bird Studio selaku Produser dari Akira Toriyama.

akira toriyama

Karir

Karir Akira Toriyama dimulai dari karya pertamanya yakni Dr. Slump, yang terbit perdana pada Februari 1980 dan menginspirasi 2 seri TV-Anime dan beberapa Movie. Kemudian, karya selanjutnya adalah Dragon Ball yang terbit perdana pada November 1984 sampai dengan Mei 1995. Manga ini begitu terkenal dan mendapatkan adaptasi Anime maupun Spin-off sampai hari ini.

Sebagai Inspirasi

Kepergian Akira Toriyama membuat kesedihan mendalam bagi para artis yang berkecimpung dalam dunia Manga dan Anime. Salah duanya adalah Eichiiro Oda selaku Mangaka dari One Piece dan Masashi Kishimoto selaku Mangaka Naruto. Mereka memberikan pesan mendalam kepada Mangaka Legendaris tersebut karena karya beliau menjadi Inspirasi kisah pembuatan Manga mereka.

akira toriyama influence

Terima kasih banyak atas karyamu Akira Toriyama Sensei, karyamu menjadi inspirasi banyak Mangaka hingga saat ini.

Anime MAYONAKA PUNCH Perkenalkan Para Pemeran [Updated]

0

Anime News Plus – Anime MAYONAKA PUNCH memperkenalkan para pemeran beserta cast mereka. Anime ini dijadwalkan akan tayang pada Juli 2024 oleh studio P.A. Works.

Video Perkenalan Karakter

Masaki (CV: Hisumi Kasegawa)
Live (CV: Ai Fairouz)
Ichiko (CV: Yuina Ito)
Fu (CV: Hina Yomiya)
Tokage (CV: Hitomi Ueda)
Yuki (CV: Ai Kayano)

Staff Utama

Berikut adalah jajaran staff utama untuk Anime Mayonaka Punch

  • Director: Shu Honma
  • Series Composition: Hideaki Shirasaka
  • Original Character Design: Tsukasa Kotobuki
  • Character Design: Ryota Arima

Sinopsis

Berpusat pada Masaki, seorang anggota grup NewTuber “Harakiri Sisters”, yang dipecat karena suatu insiden tertentu. Bertujuan untuk kembali, Masaki bertemu dengan Live. Kedua gadis ini memiliki tujuan yang berbeda, tetapi bersama-sama, mereka melakukan comeback yang menegangkan dan bertujuan untuk mencapai 1 juta pelanggan di NewTube.

Review DLC Metro Exodus: Sam’s Story – Permata Tersembunyi di Ujung Metro

0

Metro Exodus – Sam’s Story menurut aku adalah game permata tersembunyi, dan bisa jadi sinyal untuk seri Metro selanjutnya. DLC ini mungkin “cuma” tambahan, tapi rasanya jauh dari kata filler. Di sini, fokus bukan lagi pada Artyom, melainkan pada Sam—sosok yang selama ini ada di latar, pelan tapi konsisten.

Dalam review DLC Metro Exodus Sam’s Story ini, aku main sekitar 5 jam di tingkat kesulitan Story, dengan gaya main campuran antara stealth, eksplorasi, dan tembak-tembakan. Dan yang paling kerasa: ini bukan sekadar epilog, tapi perjalanan pribadi seorang prajurit yang ingin pulang.

Review DLC Metro Exodus Sam’s Story Versi Narasi

Review ini juga tersedia dalam bentuk video narasi yang saya bacakan. Di video tersebut, kamu bisa menonton versi singkat dari ulasan ini. Silakan klik di sini untuk menuju channel gaming saya, atau langsung tonton melalui pemutar di bawah.

Gameplay Metro Series

Posisi Sam’s Story di Dunia Metro

Di campaign utama, Sam sering terasa “cuma” anggota Aurora lain. Tapi kalau kamu perhatikan dub Rusia dari seri pertama sampai Exodus, dia itu satu-satunya karakter yang bahasa Rusianya nggak benar-benar fasih dan kadang nyelip bahasa Inggris. Sam memang orang asing di Rusia, dan Sam’s Story akhirnya ngasih panggung penuh buat sudut pandangnya.

Di DLC Metro Exodus Sam’s Story ini, ceritanya berputar pada satu hal sederhana tapi kuat:
Sam ingin pulang ke rumah aslinya.
Dia lelah merasa seperti orang luar di Moskow, dan DLC ini adalah perjalanan panjangnya mengejar harapan yang sangat tipis tapi masih ia pegang erat.

Tonenya buat aku penuh harapan, tapi bukan harapan muluk. Lebih ke harapan pahit-manis: Sam tahu dunia hancur, tahu risiko, tapi tetap maju. Dan di balik itu semua, ada momen di mana dia harus memilih antara mimpinya sendiri dan sesuatu yang lebih besar.

Dunia Pesisir yang Hidup dan Mengundang Eksplorasi

Secara struktur, Sam’s Story kembali ke formula mini open-world ala Metro Exodus, tapi kali ini berlatar di area pantai, pelabuhan, dan kota rusak dekat laut.

Buatku, desain map-nya terasa hidup dan menarik dijelajahi. Bukan jenis open-world yang penuh ikon berantakan, tapi lebih ke area luas dengan spot-spot penting yang punya cerita dan suasana sendiri.

Area Sekolah: Anomali yang Bikin Merinding

Salah satu momen paling kuat di review DLC Metro Exodus Sam’s Story ini justru datang dari eksplorasi yang cukup bebas, bukan misi utama. Dalam eksplorasi ada area paling misterius yaitu area sekolah.

Dari jauh, saat naik perahu, di lantai dua sekolah itu, aku melihat sosok pria berjaket biru, berdiri diam. Dia nggak ngomong apa-apa, cuma terlihat sebentar lalu masuk ke dalam gedung. Begitu mendekat dan masuk ke sekolah:

  • Suara sekitar mendadak sunyi.
  • Ada ruangan dengan upgrade senjata dan meja crafting.
  • Di lantai dasar, ada kelas kecil dengan sebuah piano.
  • Saat masuk ruangan itu, karakter mulai batuk-batuk parah, padahal indikator radiasi kosong. Pakai masker gas atau tidak, batuknya tetap ada selama berada di area itu.
  • Akses ke lantai atas terblokir, pria yang tadi terlihat di jendela menghilang.
  • Yang tersisa hanya suara piano samar dari kejauhan.

Tidak ada jumpscare murahan, tidak ada hantu loncat ke kamera. Tapi suasana anomali di sekolah itu bikin merinding dengan cara yang halus. Di sini, Sam’s Story nunjukin bahwa dunia Metro nggak cuma keras secara fisik, tapi juga punya momen-momen aneh yang nggak harus dijelaskan tuntas.

Fasilitas Nuklir: Tekanan Maksimal di Akhir Perjalanan

Di sisi lain, area yang paling bikin aku tegang adalah bagian akhir di fasilitas nuklir / militer kapal selam.
Di sini, ritme berubah jadi sangat menekan:

  • Kamu harus bergerak cepat,
  • Filter oksigen terbatas,
  • Banyak monster, termasuk jenis yang mirip di Caspian, plus variasi monster dengan elemen listrik.

Bagian ini terasa seperti puncak ujian:
bukan hanya soal aim dan refleks, tapi juga manajemen waktu, posisi, dan keberanian mengambil risiko.

Gameplay: Kombinasi Stealth, Aksi, dan Eksplorasi

Dalam review DLC Metro Exodus Sam’s Story ini, gaya mainku nggak terkunci di satu jalur. DLC ini memang membuka ruang untuk:

  • Stealth: mengendap, menghindari konflik onar.
  • Aksi frontal: terutama saat kondisi sudah terlalu ramai.
  • Eksplorasi santai: menyusuri bangkai kapal, bangunan, dan sudut-sudut aneh seperti sekolah tadi.

Loop gameplay terasa:

  • Kadang stealth-survival,
  • Kadang full action,
  • Kadang sekadar keliling dan mengamati dunia.

Dari sisi musuh, baik mutan maupun manusia masih terasa mirip dengan base game. Tantangannya kurang lebih selevel, tidak tiba-tiba melonjak jadi super brutal, tapi juga tidak terasa lunak.

Sistem resource dan crafting juga kurang lebih sama dengan Metro Exodus utama. Tidak terasa jauh lebih ketat, tapi juga tidak terlalu longgar sampai kehilangan rasa survival-nya. Di sini fokus tetap pada perjalanan Sam dan dunia di sekelilingnya, bukan pada penderitaan karena kehabisan peluru.

Cerita Sam: Ingin Pulang dari Negeri yang Bukan Miliknya

Bagian paling kuat dari review DLC Metro Exodus Sam’s Story adalah bagaimana DLC ini mengukuhkan identitas Sam sebagai karakter utama.

Sam bukan sekadar “orang Amerika di Rusia”, tapi benar-benar sosok yang:

  • merasa dirinya asing di Moskow,
  • rindu pulang ke rumah,
  • tapi terjebak di dunia pasca nuklir yang sudah nggak jelas ujungnya di mana.

Di sepanjang DLC, terasa bahwa Sam punya identitas kuat. Cara dia melihat dunia beda dari orang-orang metro yang sudah terbiasa hidup di terowongan dan reruntuhan. Buat Sam, pulang itu bukan nostalgia, tapi satu-satunya cara agar dia merasa “utuh” lagi.

Keputusan Akhir: Antara Impian dan Kenyataan

Momen paling emosional buat aku adalah keputusan akhir Sam, ketika dia terluka dan dihadapkan pada pilihan:

  • tetap mengejar impiannya untuk pulang, dengan resiko besar,
  • atau menerima kenyataan pahit dan menggagalkan impian itu demi sesuatu yang lebih penting.

Di sini, Sam’s Story benar-benar terasa sebagai kesimpulan pahit-manis. Ending-nya buat aku memuaskan, bukan karena semuanya berakhir bahagia, tapi karena keputusan akhirnya terasa manusiawi dan konsisten dengan perjalanan yang sudah dia lalui. Terlebih DLC ini juga memiliki sistem karma.

Audio, Visual, dan Atmosfer

Secara atmosfer, Sam’s Story terasa mirip dengan Metro Exodus utama, tapi dibungkus dalam tema pesisir dan kota dekat laut. Bangkai kapal, bangunan tergenang, dan garis pantai rusak memberikan rasa yang sedikit berbeda, walau secara visual masih terasa sebagai variasi environment dari base game, bukan sesuatu yang sepenuhnya baru.

Audio:

  • Suara ombak, mutan, senjata, dan ambience masih sekuat base game.
  • Tidak ada lonjakan kualitas, tapi juga tidak turun.
  • Suasana tetap didukung dengan baik.

Secara visual, Sam’s Story lebih terasa sebagai variasi daripada lompatan besar. Namun untuk level DLC, itu masih sangat cukup, apalagi kalau kamu sudah nyaman dengan gaya visual Metro Exodus.

Performa di PC selama aku main DLC ini stabil, tanpa bug atau glitch yang mengganggu. Dari sisi teknis, pengalaman bermain terasa bersih.

Harga, Value, dan Apakah Wajib Dimainkan?

Sekarang bagian yang sering jadi penentu: harga dan value.

Saat review DLC Metro Exodus Sam’s Story ini dibuat, DLC ini dihargai sekitar Rp 107.000. Dengan durasi sekitar 5 jam, eksplorasi yang cukup luas, dan cerita yang padat, menurut aku:

  • Harga itu masih pantas,
  • Diskon sampai sekitar Rp 75.000 sudah terasa sangat ideal,
  • Kalau kamu bisa mendapatkannya di bawah itu, itu sudah kategori mantap.

Apakah DLC ini wajib dimainkan oleh semua yang sudah tamat Exodus?
Menurutku: boleh skip, tapi sayang kalau dilewat.

Secara garis besar:

  • Ceritanya berdiri cukup terpisah dari perjalanan Artyom,
  • Tapi di sisi lain, Sam’s Story memberikan lapisan ekstra untuk dunia Metro,
    terutama buat kamu yang sadar dari awal bahwa ada satu karakter yang bahasa Rusianya selalu terdengar beda—dan itu adalah Sam.

DLC ini paling cocok untuk:

  • pemain yang suka eksplorasi santai di dunia pasca kiamat,
  • suka cerita sampingan dengan tone penuh harapan tetapi realistis,
  • dan tertarik melihat potensi arah baru seri Metro di masa depan.

Kesimpulan: Permata Tersembunyi di Pinggir Cerita Utama

Kalau The Two Colonels adalah potongan sedih yang terasa seperti seharusnya menyatu di campaign utama, maka Sam’s Story buat aku adalah permata tersembunyi di pinggir perjalanan Metro Exodus.

Metro Exodus – Sam’s Story menurut aku adalah game permata tersembunyi, dan ini bisa jadi sinyal untuk Metro seri selanjutnya.
DLC ini menunjukkan bahwa dunia Metro masih punya banyak sudut dari sudut pandang karakter lain, bukan hanya Artyom.

Sebagai penutup, review DLC Metro Exodus Sam’s Story ini bisa diringkas begini:
kalau kamu sudah jatuh cinta pada dunia Metro dan ingin melihat kisah seseorang yang hanya ingin pulang ke rumah, Sam’s Story adalah perjalanan tambahan yang sangat layak kamu ikuti.

Review DLC Metro Exodus The Two Colonels – Kisah Dua Ayah di Ujung Metro

0

Kalau di campaign utama Metro Exodus kita mengikuti perjalanan panjang Artyom dan kru Aurora, di Review DLC Metro Exodus The Two Colonels ini fokusnya bergeser ke sesuatu yang jauh lebih sempit, tetapi justru lebih menyesakkan: kisah dua ayah yang bertahan di dunia yang sudah tidak punya masa depan. Dalam waktu sekitar satu jam empat puluh menit di tingkat kesulitan Story, aku menamatkan DLC ini dan merasa bahwa cerita yang diceritakan di sini sebenarnya layak jadi bagian dari game utama, bukan sekadar konten tambahan berbayar.

Review DLC Metro Exodus The Two Colonels ini bukan walkthrough, tapi lebih ke pengalaman pribadiku menikmati DLC pendek yang padat dan emosional ini. Semua yang aku bahas murni dari apa yang aku rasakan saat memainkan The Two Colonels di tahun 2025.

Review DLC Metro Exodus The Two Colonels Versi Narasi

Review ini juga tersedia dalam bentuk video narasi yang saya bacakan. Di video tersebut, kamu bisa menonton versi singkat dari ulasan ini. Silakan klik di sini untuk menuju channel gaming saya, atau langsung tonton melalui pemutar di bawah.

Gameplay Metro Series

Gambaran Umum DLC dan Perannya di Cerita Utama

Berbeda dengan struktur semi open-world di Metro Exodus, DLC Metro Exodus The Two Colonels langsung mengurung kita di jalur yang sangat linear. Di sini tidak ada Volga, Caspian, atau Taiga; yang ada hanyalah lorong-lorong metro yang makin lama makin hancur, dan kota yang secara perlahan benar-benar mati.

Linearitas ini bukan kelemahan, justru jadi kekuatan. DLC Metro Exodus The Two Colonels sebenarnya menjawab satu lubang besar yang terasa di cerita utama: apa yang sebenarnya terjadi dengan Miller, Kirill, dan ayah Kirill, serta bagaimana kondisi metro di kota itu bisa sampai benar-benar tidak tersisa kehidupan. Alur yang sempat terasa “terpotong” di campaign utama, di sini diisi dengan runtutan peristiwa yang utuh.

Karena durasinya pendek, pacing di Review DLC Metro Exodus The Two Colonels terasa padat dari awal sampai akhir. Hampir tidak ada momen yang benar-benar kosong; setiap langkah selalu terasa mengarah ke sesuatu, entah dialog kecil, suasana baru, atau ancaman berikutnya.

Gameplay: Lorong Sempit, Tembakan Frontal, dan Flamethrower

Kalau di campaign utama aku lebih banyak bermain stealth, di Review DLC Metro Exodus The Two Colonels gaya mainku otomatis bergeser. Di sini tidak ada sistem karma, dan sebagian besar konflik diarahkan ke mutan dan ancaman yang sifatnya fisik, bukan moral. Hasilnya, aku banyak bermain frontal: masuk ruangan, mengamati sebentar, lalu tembak-tembak sampai area aman.

Baik melawan manusia maupun mutan, Review DLC Metro Exodus The Two Colonels mendorongku untuk selalu siap tembak di jarak menengah. Mutan tetap gesit dan agresif, manusia tetap lebih rapuh tapi taktis, namun karena arena perangnya sempit, ketegangan lebih banyak datang dari sudut sempit dan jarak pandang yang terbatas.

Salah satu bintang utama di Review DLC Metro Exodus The Two Colonels jelas adalah flamethrower. Senjata ini terasa keren dan sangat powerful, terutama saat harus membersihkan area yang dipenuhi ancaman organik dan kegelapan. Setiap kali pelontar api ini menyala, ada rasa lega sekaligus ngeri—lega karena musuh habis terbakar, ngeri karena kita sadar betapa putus asanya situasi di metro tersebut sampai-sampai api jadi solusi utama.

Dari sisi resource, Review DLC Metro Exodus The Two Colonels terasa mirip dengan campaign utama di mode Story. Peluru dan suplai terasa cukup, dan sistem crafting lebih berfungsi sebagai pelengkap daripada sumber tekanan utama. Fokus utamanya tetap pada cerita dan ketegangan momen, bukan membuat pemain menderita kehabisan peluru setiap lima menit.

Horor, Ketegangan, dan Momen Librarian

Secara tone, Review DLC Metro Exodus The Two Colonels terasa lebih tegang dibanding bagian-bagian tertentu di game utama, terutama menjelang akhir. Salah satu segmen paling menempel di kepalaku adalah bagian di fasilitas rumah sakit, ketika kita bertemu dengan para Librarian.

Di bagian itu, DLC ini benar-benar menekan pemain. Lorong-lorongnya sempit, ancaman mutan muncul dengan cara yang bikin tegang, dan setiap suara terasa berbahaya. Di sana, aku dipaksa menurunkan tempo dan bermain jauh lebih hati-hati, tidak bisa asal maju dan berharap semua selesai dengan beberapa peluru saja.

Ketegangan di Review DLC Metro Exodus The Two Colonels datang dari dua arah: dari mutan yang mengancam secara fisik, dan dari suasana dunia yang pelan-pelan menunjukkan bahwa metro ini sebenarnya sudah tidak punya harapan lagi. Kombinasi keduanya membuat pengalaman pendek ini terasa berat, meskipun durasinya tidak panjang.

Cerita Dua Kolonel: Khlebnikov, Miller, dan Perjuangan Seorang Ayah

Kekuatan terbesar Review DLC Metro Exodus The Two Colonels jelas ada di sisi cerita. Di sini, nama “Two Colonels” bukan sekadar judul keren, tapi benar-benar menggambarkan dua sosok yang sama-sama berjuang sebagai ayah: Lieutenant-Colonel Khlebnikov dan Colonel Miller.

Melalui sudut pandang Khlebnikov, Review DLC Metro Exodus The Two Colonels memperlihatkan bagaimana seorang ayah berusaha mati-matian agar ia dan anaknya bisa keluar dari kota yang sudah sepenuhnya mati. Semua yang ia lakukan, dari tugas militer sampai keputusan-keputusan terakhir, selalu kembali ke satu hal: mencari kesempatan untuk menyelamatkan Kirill dari dunia yang radiasinya sudah tidak bisa ditawar lagi.

Di sisi lain, melalui Miller, Review DLC Metro Exodus The Two Colonels memperdalam sosok yang sudah kita kenal di campaign utama. Di sini, Miller bukan hanya komandan keras kepala, tapi juga seorang ayah yang berjuang mencari obat anti radiasi dan lokasi bebas radiasi untuk putrinya. Ia terlihat jauh lebih manusiawi, dan hubungan antara pengorbanannya di DLC ini dengan perannya di akhir cerita utama membuat sosoknya terasa lebih dalam.

Akhir dari Review DLC Metro Exodus The Two Colonels terasa sangat sedih, tapi juga sangat manusiawi. Ini bukan twist yang dibuat untuk mengejutkan, tapi penutupan pelan yang menegaskan bahwa dunia Metro adalah dunia di mana harapan mahal, dan setiap kebahagiaan kecil datang dengan harga yang sangat besar.

Atmosfer, Teknis, dan Presentasi

Dari sisi atmosfer, DLC Metro Exodus The Two Colonels terasa setara, bahkan mungkin sedikit lebih padat dari base game, justru karena durasinya pendek dan fokus. Tidak ada waktu untuk keluar-masuk map; semua terjadi di lorong, ruangan, dan sisa-sisa fasilitas yang makin lama makin tidak stabil. Rasanya seperti kembali ke akar seri Metro yang penuh lorong sempit dan ruang tertutup.

Untuk audio, DLC Metro Exodus The Two Colonels mengikuti kualitas base game: suara mutan, dentuman senjata, dan efek flamethrower semuanya mantap dan mendukung ketegangan. Musik tetap lebih berfungsi sebagai pengisi suasana daripada elemen yang menonjol sendiri, dan itu cocok dengan gaya penceritaan Metro.

Secara visual, DLC Metro Exodus The Two Colonels memang terasa lebih seperti memakai aset base game. Lokasi-lokasinya masih erat terhubung dengan area yang kita lihat di bagian akhir kampanye utama dan markas OSKOM. Buatku ini bukan masalah, karena memang tujuan DLC ini adalah melengkapi potongan cerita, bukan memperkenalkan dunia baru yang eksotis.

Performa di PC-ku stabil sepanjang game. Tidak ada bug berarti, tidak ada crash, dan tidak ada glitch yang mengganggu. Pengalaman teknisnya relatif bersih.

Harga, Value, dan Rekomendasi

Sekarang soal value. Saat ini The Two Colonels dijual sekitar Rp 75.000. Dari sudut pandangku setelah menamatkan DLC Metro Exodus The Two Colonels, harga yang paling pas untuk DLC dengan durasi dan fokus seperti ini adalah sekitar Rp 50.000. Kalau kamu bisa mendapatkannya dengan diskon sehingga menyentuh angka itu, hampir tidak ada alasan untuk melewatkannya, terutama kalau kamu sudah suka cerita utama Metro Exodus.

Yang perlu diingat, DLC Metro Exodus The Two Colonels ini terasa seperti bagian cerita utama yang dipisah dan dijual sebagai DLC. Buatku pribadi, kisah dua Kolonel ini seharusnya memang menyatu di campaign, bukan berdiri sebagai konten terpisah. Namun, kalau kamu terima format ini, isinya sendiri sangat kuat.

DLC ini sangat cocok untuk pemain yang ingin ekstra cerita tentang Miller, yang ingin melihat lebih dalam perjuangan seorang ayah di dunia Metro, dan yang menyukai tone sedih dan tragis. Kalau kamu hanya mencari tambahan gameplay panjang atau area sandbox baru, kamu mungkin akan merasa DLC ini terlalu singkat. Tapi kalau fokusmu adalah narasi, DLC Metro Exodus The Two Colonels benar-benar layak dimainkan.

Di Mana Sebaiknya Memainkan DLC Ini dalam Urutan Seri Metro?

Satu hal yang sering bikin bingung pemain baru adalah: kapan waktu terbaik untuk menyentuh The Two Colonels? Menurut aku, DLC ini paling pas dimainkan setelah kamu menamatkan campaign utama Metro Exodus. Dengan begitu, kamu sudah kenal dulu dengan Miller, sudah paham perjalanan Artyom dan Aurora, dan sudah melihat sendiri bagaimana kondisi dunia di bagian akhir game.

Kalau kamu memaksakan main lebih awal, banyak detail emosi yang justru tidak akan terasa. Beberapa dialog dan keputusan di DLC ini sengaja dibuat untuk memantulkan kembali tema besar seri Metro: pengorbanan, keluarga, dan harga dari harapan kecil di dunia yang rusak. Tanpa konteks perjalanan utama, kisah Khlebnikov dan Miller akan terasa kuat, tapi tidak sedalam ketika kamu sudah tahu apa yang mereka pertaruhkan.

Jadi saran jujur dariku: selesaikan dulu cerita utama, cerna dulu akhir perjalanannya, baru kemudian kembali turun lagi ke lorong bersama dua Kolonel ini. Dengan urutan seperti itu, setiap adegan kecil dan keputusan pahit di DLC ini akan terasa jauh lebih mengena.

Pada akhirnya, posisi konten ini lebih mirip epilog pahit yang ditaruh di samping, bukan di tengah cerita. Mungkin secara bisnis masuk akal dijual terpisah, tapi dari sudut pandang penikmat cerita, bagian ini terasa seperti potongan terakhir yang melengkapi mozaik besar dunia Metro.

Kalau kamu tipe pemain yang peduli dengan detail dunia dan suka mengulik latar belakang tokoh, tambahan singkat seperti ini justru terasa sangat berharga. Durasi boleh pendek, tapi bobot emosinya panjang.

Review Metro Exodus Enhanced Edition: Petualangan Panjang Artyom di Jalur Terakhir

0

Kalau harus dirangkum dalam satu kalimat, Metro Exodus Enhanced Edition buat aku adalah gabungan antara cerita yang kuat, petualangan survival yang seru, dan grafik yang dulu terasa wah, sekarang masih tetap layak kagum. Aku menamatkan campaign utamanya dalam kurang lebih 13 jam di Story Mode, bermain dengan gaya stealth sebisa mungkin, dan jujur: ini salah satu perjalanan FPS single-player yang benar-benar terasa “selesai” ketika kredit terakhir muncul.

Artikel ini adalah Review Metro Exodus Enhanced Edition khusus campaign utama (base game), tanpa DLC. Semua yang aku tulis murni dari pengalaman mainku sendiri.

Review Metro Exodus Enhanced Edition Versi Narasi

Review ini juga tersedia dalam bentuk video narasi yang saya bacakan. Di video tersebut, kamu bisa menonton versi singkat dari ulasan ini. Silakan klik di sini untuk menuju channel gaming saya, atau langsung tonton melalui pemutar di bawah.

Gameplay Metro Series

Pengalaman Bermain: Story Mode, 13 Jam yang Padat

Aku main di Story Mode — bukan mode tersulit, tapi menurutku pas untuk menikmati cerita dan atmosfer tanpa terlalu pusing soal resource. Dengan durasi tamat sekitar 13 jam, pacing-nya terasa rapat dan padat, hampir tidak ada bagian yang benar-benar terasa “buang waktu”.

Gaya mainku cenderung stealth. Metro Exodus sangat mendukung cara main seperti ini: mengintip, mematikan lampu, menghindari kontak langsung, dan memilih kapan harus mengeksekusi musuh secara diam-diam. Di tingkat kesulitan Story Mode, resource tidak pernah benar-benar kritis, jadi fokusku lebih ke pengambilan keputusan moral dan cara menyelesaikan area sebersih mungkin.

Dunia Semi Open-World: Volga, Caspian, dan Taiga

Salah satu daya tarik utama Metro Exodus dibanding seri sebelumnya adalah struktur dunianya yang berubah dari terowongan sempit menjadi mini sandbox di beberapa area.

Volga & Caspian: Mini Sandbox yang Serius Dikerjakan

Volga dan Caspian adalah contoh terbaik bagaimana Metro Exodus menggabungkan kebebasan dan desain terarah.

  • Volga terasa hidup dengan kombinasi pemukiman, reruntuhan, dan ancaman di segala arah.
  • Caspian di sisi lain mungkin sekilas terlihat kosong, tapi itu memang karena temanya gurun. Kalau kamu mau mengeksplorasi, sebenarnya banyak lokasi kecil tersebar di seluruh peta—kamp, bangunan terbengkalai, titik loot, dan pertemuan random yang memperkuat nuansa dunia pasca perang nuklir.

Jadi buat aku, Caspian tidak benar-benar kosong, hanya memang sengaja dibuat memberi kesan tandus dan keras. Itu cocok dengan tema gurun yang sepi, tapi tetap punya banyak tempat menarik bagi pemain yang mau repot mengeksplorasi.

Taiga: Potensi Besar yang “Dibelokkan” Jadi Linear

Dari semua area, Taiga mungkin yang paling bikin aku campur aduk.

Konsep dasarnya keren banget: hutan lebat, suasana alam yang pekat, manusia modern yang kembali hidup semi primitif, binatang buas, bandit, area radiasi, rawa—semuanya potensial jadi peta mini sandbox yang paling menarik di game ini.

Tapi pada praktiknya, sekitar 75% bagian Taiga terasa dipaksa linear. Setelah kamu melewati satu bagian cerita, tidak ada opsi untuk benar-benar kembali dan mengeksplorasi area itu dengan bebas. Jadi, walau desain idenya sangat menarik, eksekusinya cenderung diarahkan satu jalur. Menurutku sayang sekali, karena kalau Taiga digarap seperti Volga dan Caspian, ini bisa jadi area terbaik dalam seluruh Metro Exodus.

Gameplay: Gunplay, Stealth, dan Musuh

Gunplay: Realistis Tapi Tetap Nyaman

Gunplay di Metro Exodus Enhanced Edition menurutku enak dan terasa realistis, tanpa jadi kaku. Recoil dan respons tembakan terasa pas: tidak terlalu arcade, tapi juga tidak sampai bikin frustasi. Setiap senjata memiliki “rasa” sendiri, dan modul/modifikasi menambah sensasi bahwa senjata itu benar-benar dirakit di dunia yang penuh keterbatasan.

Stealth: Jauh Lebih Jelas dan Memuaskan

Dibanding dua seri sebelumnya, sistem stealth di Metro Exodus ini jauh lebih jelas dan memuaskan. Indikator, pencahayaan, dan respon musuh terhadap suara/visibilitas terasa jauh lebih mudah dibaca, sehingga tidak menimbulkan frustasi yang “nggak jelas”.

Kekurangan utamanya ada di satu hal: mayat musuh tidak bisa diseret.
Kalau kamu membunuh atau meng-knock musuh manusia, tubuhnya akan tetap di tempat. Ini memaksa pemain untuk benar-benar berpikir matang sebelum menumbangkan seseorang—siapa yang harus diprioritaskan, apakah posisinya aman, dan apakah pemain siap kalau tubuh itu ditemukan.

Dari sisi desain stealth, ini menarik, tapi di satu sisi juga terasa agak kaku karena tidak ada opsi mengelola posisi mayat.

Mutan vs Manusia: Dua Jenis Ancaman yang Berbeda

Yang aku suka, baik mutan maupun musuh manusia punya peran dan rasa ancaman yang berbeda:

  • Mutan:
    Lebih kebal dan gesit, tapi cenderung bodoh. Mereka mengandalkan jumlah dan agresivitas.
  • Manusia:
    Lebih cerdas, bisa mengambil cover, berkomunikasi, dan memposisikan diri lebih taktis—tapi mudah mati dibanding mutan.

AI musuh menurutku cukup realistis. Tidak terasa bodoh total, tapi juga tidak terlalu “cheating” sampai seperti membaca pikiran pemain.

Sistem Crafting & Survival: Penting, Tapi Fleksibel

Workbench dan crafting di Metro Exodus jelas terasa penting. Mengatur peluru, filter gasmask, dan perbaikan senjata bukan hanya fitur kosmetik, tetapi bagian dari loop survival.

Namun, di Story Mode, kelangkaan resource hampir tidak terasa. Peluru dan material relatif cukup aman sepanjang perjalanan. Aku bisa membayangkan kalau naik ke kesulitan di atas Normal, kelangkaan resource akan berasa jauh lebih kuat dan menegangkan, tapi di mode yang kupakai sekarang, game lebih condong jadi petualangan cerita dengan elemen survival yang ramah.

Aku sendiri belum pernah main di kesulitan di atas Normal, jadi pengalamanku murni sebagai pemain yang lebih fokus pada narrative experience ketimbang hardcore survival.

Cerita, Karakter, dan Pilihan Moral

Cerita Utama: Sangat Kuat

Cerita utama Metro Exodus menurutku sangat kuat. Bukan hanya soal Artyom dan Aurora meninggalkan metro, tapi cara game ini membangun perjalanan panjang mereka—dari stasiun ke stasiun, dari harapan ke keputusasaan—itu benar-benar terasa.

Bagian cerita yang menurutku paling kuat adalah final chapter. Semua keputusan, suasana, dan tensi emosinya memuncak di sana. Game ini jelas dirancang untuk mengantar pemain pada ending yang terasa “pantas”, entah baik atau buruk.

Miller dan Kru Aurora

Dari kru Aurora, Miller adalah karakter yang paling menonjol buat aku.
Dia pemimpin militer yang tegas, kadang keras, tapi tetap mendengarkan pendapat bawahannya. Di dunia pasca perang nuklir yang kacau, Miller adalah figur yang memegang prinsip, dan dilema moralnya di akhir cerita jadi salah satu titik emosional paling kuat.

Karakter lain juga punya peran, tapi Miller benar-benar menjadi “tulang punggung” secara moral.

Sistem Karma & Ending

Salah satu hal menarik dari Metro Exodus adalah sistem karma dan beberapa ending yang bisa didapat—dengan konsekuensi yang terasa.

Pertama kali aku tamat dulu di tahun 2020, aku justru dapat karma buruk.
Alasannya simpel: aku tidak bisa membedakan mana warga lokal, mana bandit. Karena aku tidak paham bahasa Inggris/Rusia dan lebih fokus pada gameplay, aku hampir membunuh semua orang yang kutemui. Setelah mendapatkan karma buruk dan main lagi, baru aku sadar kalau kamu memakai subtitle dan memperhatikan dialog, identitas mereka jauh lebih jelas.

Setelah memahami itu, aku berhasil mendapatkan happy ending.
Kedua ending menurutku sama-sama memuaskan, karena keduanya terasa seperti hasil dari tindakan kita sendiri. Bukan cuma “pilihan A atau B di akhir”, tetapi akumulasi moral sepanjang perjalanan.

Atmosfer, Audio, dan Visual Ray Tracing

Dari segi tone, Metro Exodus Enhanced Edition lebih terasa petualangan dengan bumbu horor ringan, bukan full horror. Ada momen menekan, area gelap, dan mutan yang mengerikan, tapi overall, game ini terasa seperti perjalanan panjang yang penuh risiko dan harapan, bukan sekadar survival tanpa harapan.

Suara senjata dan efek audio terasa sangat nendang. Tembakan, ledakan, efek mutan—semuanya memberikan kesan kuat. Namun, suara lingkungan menurutku sedikit kurang kaya. Masih efektif, tapi tidak sampai level “immersif total” yang membuatku lupa kalau ini game.

Untuk musik, jujur saja, aku merasa lebih sebagai pengisi sunyi daripada sesuatu yang benar-benar memorable. Ia berfungsi, tapi tidak meninggalkan jejak mendalam setelah kredit.

Soal grafik dan ray tracing:
Aku pertama kali menyentuh Metro Exodus di era awal RTX 2000, ketika ini adalah salah satu game full ray tracing yang terasa ringan untuk saat itu. Waktu itu, grafiknya benar-benar terasa wah banget—lighting, pantulan, dan bayangan membuat dunia Metro terlihat sangat “next gen”.

Kalau aku main sekarang, di tengah banyaknya game ray tracing lain, efek itu memang terasa lebih “biasa saja”. Tapi kalau kamu baru pertama kali main Metro Exodus Enhanced Edition dengan ray tracing aktif, apalagi di PC yang kuat, aku yakin visualnya masih akan terasa sangat mengesankan.

Performa & Masalah Teknis

Di PC-ku sekarang, performa Metro Exodus Enhanced Edition stabil. Tidak ada masalah framerate berarti saat gameplay berjalan.

Masalah teknis yang paling sering kurasakan justru di awal game.
Kadang, saat pertama kali membuka game, rasanya seperti terlalu berat: bisa muncul crash atau blackscreen. Aku menduga game sedang melakukan proses seperti load shader di belakang layar, tapi sayangnya tidak ada penjelasan yang jelas dari game-nya sendiri.
Di in-game, load shader terlihat jelas ketika mengganti resolusi, tapi saat awal booting, perilaku ini bisa membingungkan, terutama bagi pemain awam.

Untuk kontrol dan UI, Metro Exodus terasa nyaman, hanya butuh sedikit penyesuaian di awal. Tidak ada hal yang benar-benar membingungkan.

Harga, Value, dan Rekomendasi

Saat review ini dibuat, harga Metro Exodus di Steam sekitar Rp 321.000.
Menurutku, untuk campaign utama Metro Exodus Enhanced Edition, harga ini masih pantas, apalagi kalau kamu tertarik dengan gabungan FPS, survival, dan cerita kuat. Kalau mau sabar, diskon 50% adalah titik yang menurutku sangat ideal untuk masuk.

Namun, untuk pemain baru, aku tidak menyarankan langsung loncat ke Metro Exodus.
Lebih baik kamu main dulu Metro 2033 dan Metro: Last Light, supaya benar-benar paham perjalanan Artyom dari awal. Metro Exodus adalah kelanjutan kisahnya, dan rasa emosional di sini akan jauh lebih kuat kalau kamu sudah mengenal karakternya sejak awal.

Game ini paling cocok untuk:

  • Penikmat FPS survival dengan tempo yang tidak terlalu cepat,
  • Pemain yang suka cerita padat dan kuat,
  • Orang yang menikmati atmosfer dunia pasca apokaliptik dengan nuansa Rusia yang kental.

Dan pada akhirnya, Review Metro Exodus Enhanced Edition dari aku bisa ditutup begini:

Metro Exodus Enhanced Edition menurut aku adalah game dengan cerita yang bagus, grafik yang wah (apalagi saat pertama kali hadir), dan petualangan survival horor yang seru.

Di era 2025, ini masih sangat layak kamu mainkan—apalagi kalau kamu siap mengikuti perjalanan Artyom dari awal sampai akhir.

Review Battlefield 6 Season 1 Fase 1 “Rogue Ops”: RedSec Menggoda, Mode Klasik Tersisih

0

Battlefield 6 Season 1 Phase 1 datang dengan banyak janji: peta baru Blackwell Field, mode Strikepoint, paket RedSec (Battle Royale + Gauntlet), Battle Pass, tiga senjata anyar (SOR-300SC, GGH-22, Mini Scout), dan Traverser Mark 2. Di atas kertas semuanya terdengar padat. Di medan, rasanya justru menyusut. Aku tetap bermain seperti biasa—bukan karena update ini membuatku makin betah, tetapi karena fondasi BF6 sudah kuat sejak awal. “Rogue Ops” bukannya menambah bensin, malah seperti menekan pedal rem di beberapa titik.

Review Battlefield 6 Season 1 Fase 1 Versi Narasi

Review ini juga tersedia dalam bentuk video narasi yang saya bacakan. Di video tersebut, kamu bisa menonton versi singkat dari ulasan ini. Silakan klik di sini untuk menuju channel gaming saya, atau langsung tonton melalui pemutar di bawah.

Gameplay Series Battlefield

Blackwell Field: Hamparan yang Membuat Nafas Infanteri Pendek

Blackwell Field adalah contoh betapa desain peta bisa menghidupkan atau meredupkan “rasa” Battlefield. Di Conquest, peta ini sering berubah menjadi zona sniper: sightline terlalu panjang, kontur bisa dibilang cukup rata, jarak peta pendek, dan ada titik-titik di mana sniper bisa menembak dari base sendiri ke base lawan. Untuk udara, peta ini seolah tidak memperhitungkan heli/jet—hamparan terbuka membuatmu mudah terkunci tanpa ruang berlindung, bahkan dekat base. Paling masuk akal, peta ini menuntut lebih banyak kendaraan darat dan struktur perlindungan ketimbang parade udara.

Dari sisi visibility, pantulan cahaya dan silau membuat musuh kadang sulit terlihat. Aku pribadi masih menganggapnya sebagai “tantangan medan perang”, tapi jika digabung dengan sightline super panjang, pengalaman infanteri menjadi melelahkan. Seimbangkah? Di Conquest, masih bisa; di Rush dan Breakthrough, penyerang cenderung diuntungkan karena lebih mudah mengambil posisi tembak dominan.

Strikepoint: Rapi, Seru, tapi Mengikis Identitas

Strikepoint mendorong skuad vs skuad yang cepat, padat, dan taktis. Aturan menang-kalah jelas, respawn dan penguasaan titik terasa familiar untuk pemain R6/CS, hanya saja movement di sini lebih variatif dan destruksi bangunan memberi lapisan taktik tambahan. Masalahnya sederhana: ini seru, tapi tidak terasa “Battlefield”. Ia adalah mode kompetitif yang rapi, namun mengikis skala dan kekacauan perang besar yang menjadi ciri seri ini, tapi positif-nya ini membuat jenis mode game lebih bervariasi bila seseorang tidak suka mode game yang terlalu chaos dan lebih utamakan competitif.

RedSec: Battle Royale & Gauntlet—Bumbu yang Benar, Bukan Hidangan Utama

Battle Royale

Keunikan BR versi BF6 muncul dari destruksi, kendaraan, dan bantuan eksternal (artileri/jet/UAV) yang memengaruhi keputusan makro: kapan dorong, kapan tahan, dari mana masuk. Ada misi acak untuk reward tambahan. Banyak yang mengeluhkan TTK; buatku terasa biasa saja. Segar? Tidak juga, karna battle royale adalah mode game yang sudah cukup basi dalam 10 tahun terakhir, karna sudah banyak game serupa yang hadir, hanya cara mainnya aja yang sedikit berbeda, contoh kecil di battle royale battlefield 6, bisa hancurkan bangunan. Tapi jika di jadikan alasan utama membeli Battlefield 6 walau mode ini gratis? Tidak.

Gauntlet

Inilah sorotan terbaik Season 1 menurutku. Format turnamen antarskuad dengan eliminasi bertahap dan misi yang berubah tiap ronde membuat tensi naik turun dengan elegan. Kompetitif, tetapi masih terasa “bernapas”—ini bumbu yang tepat untuk menu sampingan bernama RedSec.

Kesimpulan RedSec: menyegarkan, tetapi tetap mode sampingan. Ia menambah variasi, bukan menggantikan panggung utama.

Senjata Baru: Pelengkap yang Tidak Menggeser Meta

  • SOR-300SC (carbine): recoil halus, nyaman jarak dekat-menengah, tidak sampai menaikkan meta.
  • GGH-22 (pistol): murni alat darurat, sesuai perannya.
  • Mini Scout (sniper): enak untuk quick pick jarak dekat, dan menengah, bukan kewajiban.
    Ketiganya memperluas rak senjata, bukan mengubah peta kekuatan.

Traverser Mark 2: Tank Roda Empat yang Serius

Traverser Mark 2 adalah kendaraan baja lincah dan tahan banting—sekitar tiga kali terkena RPG baru benar-benar hancur. Kontrolnya mudah dipelajari, karna ini hanya mobil lapis baja, dan fungsinya jelas: membuka jalan menuju inti benteng lawan. Di tangan skuad kompak, ini bisa terasa “toxic” bagi tim yang belum siap anti-vehicle, tetapi ekosistem counter-nya masih serupa dengan lainnya.

Battle Pass, Tantangan, dan XP: Nilai Ada, Napas Panjang

Battle Pass terasa bernilai. Grind-nya memang keras, tetapi ada satu kebijakan yang kusuka: skin senjata dari BP otomatis membuka loadout senjata itu (attachment mengikuti skin), sehingga pemain yang enggan menggrind level senjata tetap bisa langsung pakai. Ini bisa terlihat seperti P2W bagi sebagian orang; bagiku tidak—lebih tepat disebut jalan pintas QoL bagi pembeli BP.

Weekly/Challenges mendorong variasi, bukan sekadar tugas mekanis. Namun XP (akun/senjata/class) masih irit—desain grind sengaja dipertahankan, membuat progres terasa panjang tapi adil di ranah kompetitif.

Audio, Visual, Performa: Tajam, Indah, Tapi BR Berat

Audio tetap tajam; readability dan positional cue jelas, termasuk di RedSec. Visual? Sudah kubahas: Blackwell Field melelahkan karena terbuka dan silau. Di RedSec, readability/visibility justru bagus.

Untuk performa, ada kabar bagus sekaligus catatan besar. Beban CPU terasa berkurang—bahkan saat merekam/live streaming. Namun Battle Royale terasa jauh lebih berat dibanding mode MP lain di setelan overkill/rata kanan; perbedaan performanya terasa sekali. Di sisi lain, mode MP non-BR masih berjalan mulus seperti biasa di setelan tinggi.

Bug, Netcode, dan Hal-Hal yang Mulai Beres

Di Battle Royale, aku sempat mengalami match macet ketika semua skuad mati—layar stuck tanpa menu menang/kalah/respawn. Lalu model karakter/visual kadang tidak muncul saat memilih loadout di tengah match.

Kabarnya paling melegakan: masalah netcode/hit registration kini sudah berkurang signifikan. Di awal Season 1, isu ini masih terasa—tembakan sudah masuk, musuh tidak tumbang—namun sampai hari ini, problem tersebut jauh mengecil. Bug “tembok tak terlihat” juga sudah hilang menurut pengalamanku, sementara anomali “loncat beberapa sentimeter” kadang masih ada.

Monetisasi dan Janji Kompensasi

Harga Battle Pass menurutku pantas, meski aku memakai Phantom Edition sehingga tidak merasakan langsung “tarikan” dompet di fase ini. Ada satu hal yang mengganggu: EA menyatakan akan memberi kompensasi untuk pemain yang terdampak masalah tidak bisa main di awal rilis. Aku termasuk yang terdampak, namun sampai artikel/video ini dibuat, aku belum menerimanya. Untuk sebagian pemain, ini jelas memengaruhi persepsi.

Dampak ke Mode Klasik: Lampu Sorot yang Tidak Merata

Dengan sorotan besar ke RedSec, mode klasik seperti Breakthrough, Rush, dan Conquest terasa di anak tirikan. Strikepoint yang rapi malah menambah rasa kompetitif yang “asing” buat Battlefield, sementara Blackwell Field membuat infanteri sering kehabisan oksigen. Inilah alasan mengapa update sebesar ini, kurasa, justru membuat rasa Battlefield mengecil, bukan membesar.

Rekomendasi Singkat: Untuk Siapa “Rogue Ops”?

Season 1 Phase 1 lebih cocok untuk pemain yang menikmati survival/kompetitifGauntlet dan Battle Royale adalah bintangnya. Jika kamu datang mencari Battlefield klasik—dorong garis, taktik kendaraan sebagai bumbu, perang besar multi-jalur—fase ini tidak memuaskan.

Tiga Perbaikan yang Paling Mendesak

  1. Hit Registration/Netcode—sudah membaik secara signifikan, tetapi tetap perlu dipantau dan dipoles agar konsisten di semua mode, dan senjata.
  2. Blackwell Field—pendekkan beberapa sightline, tambah cover vertikal, pertimbangkan pembatasan kendaraan udara pada rotasi tertentu.
  3. Kebijakan Attachment per Peta—batasi scope >6x di peta super terbuka untuk mencegah camping tanpa counterplay sehat.

Kesimpulan

Battlelfield 6 Season 1 Phase 1 “Rogue Ops” adalah paket yang komplit di poster, namun rasanya tidak memanjangkan nafas Battlefield. Gauntlet menyenangkan, BR segar, Traverser Mark 2 berfungsi, dan performa CPU membaik. Tetapi Blackwell Field melelahkan untuk infanteri, Strikepoint terasa asing bagi identitas seri, dan lampu sorot RedSec membuat mode klasik seperti Breakthrough/Rush/Conquest kehilangan panggung. Ditambah BR yang berat performanya, janji kompensasi yang belum kuterima, serta jejak bug yang baru sebagian hilang, wajar bila aku menyebut “Rogue Ops” ini mengecewakan.

*Seluruh penilaian di bawah—termasuk hasil—hanya merujuk pada konten yang ada dan yang diperbaiki pada Season 1 Fase 1; konten dari season sebelumnya tidak dihitung.

Jika kamu haus kompetisi skuad dan suka eksperimen mode, silakan cicipi RedSec—terutama Gauntlet. Kalau kamu merindukan Battlefield klasik dengan perang besar yang berantakan namun terkontrol, tunggu fase berikutnya—atau berharap perombakan peta dan prioritas desain yang lebih memihak jantung seri ini.

Review Battlefield 6 (Season 0) — Lengkap Multiplayer & Campaign: Chaos Epik, Kendaraan Lebih Fair, Tapi Cerita Tersendat

0

Battlefield 6 akhirnya datang dengan janji mengembalikan “rasa Battlefield” ke jalur yang tepat. Aku sudah main 67 jam total (sekitar 62 jam di multiplayer dan 5,17 jam untuk campaign di Recruit). Di artikel ini, aku pisahkan pembahasan Multiplayer dan Campaign dalam satu ulasan, supaya jelas: MP-nya kuat dan bikin nagih, sementara SP-nya… ya, setengah hati.

Catatan: Review pertama ini akan menjadi nilai asli untuk battlefield 6. Karna Review Season 0 ini termasuk membahas mode Campaign juga. Jadi untuk Season 1 dan berikutnya, campaign tidak termasuk review jadi cara penilaian mungkin juga akan berubah.


Review Battlefield 6 Versi Narasi

Review ini juga tersedia dalam bentuk video narasi yang saya bacakan. Di video tersebut, kamu bisa menonton versi singkat dari ulasan ini. Silakan klik di sini untuk menuju channel gaming saya, atau langsung tonton melalui pemutar di bawah.

Gameplay Series Battlefield

Campaign Battlefield 6 – NO HUD

Multiplayer Battlefield 6

Multiplayer (Season 0): Cepat, Intens, dan (akhirnya) Kendaraan Lebih Waras

Mode Favorit & Pacing: Breakthrough vs Escalation

  • Breakthrough: mode ini memaksa pertarungan face to face. Rasanya rusuh, intens, dan sangat mendorong momen dramatis di titik objektif.
  • Escalation: mirip Conquest, tapi eskalasi pertempuran terasa progresif. Di awal hanya ada kendaraan ringan; di tengah–akhir, jet/heli/tank mulai masuk, bendera makin sedikit, dan pertarungan terpusat—tempo naik dari ringan ke sangat intens.

Secara umum di Season 0, hampir semua mode terasa cepat dan intens. Jeda taktis ada, tapi kasus khusus—biasanya di Conquest dengan peta sangat luas seperti Operation Firestorm.

Gunplay & Movement: Semi-Realistis, dengan Gerak yang Mantap

Gunplay terasa agak berbeda dari seri sebelumnya. Pada jarak tertentu (beda tiap senjata), damage per hit kadang seolah tidak terasa—kamu sudah mendaratkan banyak peluru, tapi musuh belum tumbang. Saat ADS dan menahan tembakan, sebagian peluru bisa melenceng dari titik tengah. Setelah kucari tahu, ini diadopsi dari fenomena nyata yang sengaja dimasukkan untuk memberi nuansa semi-realistis—meski arcade feel tetap ada.

Untuk movement, aku justru lebih suka dibanding seri sebelumnya. Highlight-nya: kini bisa menarik tubuh rekan untuk di-revive dari area terbuka—fitur kecil yang dampaknya besar dalam tempo dan penyelamatan.

TTK & Keseimbangan Senjata

TTK (Time to Kill) menurutku pas—tidak terlalu cepat, tidak terlalu lama. Di Season 0, keseimbangan senjata terasa sehat. Catatan: senjata yang levelnya sudah maksimal berpotensi jadi meta jika attachment-nya tepat. Tapi pada akhirnya tetap balik ke skill pemain.

Kendaraan: Dari “Ngamuk” Jadi Variabel Taktis

Ini bagian penting: peran kendaraan kini lebih fair. Di seri sebelumnya, kendaraan terbang (heli/jet) atau tank sering terasa overpower. Di BF6, kendaraan bukan raja yang tak tersentuh—mereka lebih ke variabel taktis: mengalihkan fokus, menciptakan suppression, dan mengganggu garis musuh.
Bukan berarti jelek atau impoten; lebih tepatnya, dikembalikan ke porsinya. Manuver dipersulit, “sniper tank” dikurangi, dan pilot/driver dituntut berpikir—bukan asal terbang atau maju.

Peta: Mana yang Kuat, Mana yang Kurang Pada Season 0

Suka:

  • Liberation Peak — Paling favorit. Cocok untuk semua kendaraan. Tank tak bisa asal tancap gas karena jalurnya sempit dan rentan diserang dari banyak sudut; pesawat/heli sulit membunuh, tapi bisa bermanuver di kontur pegunungan.
  • Siege of Cairo, Iberian Offensive, Saints QuarterPertempuran kota rapat, infanteri intens, dan momen “ketemu tank dari mulut gang” bikin deg-degan.

Kurang:

  • Empire State — Mirip tiga kota di atas, tapi flow-nya kurang enak.
  • Manhattan Bridge — Gang lebih sedikit, banyak gedung bisa dinaiki, jadi pertempuran mencar.
  • Operation Firestorm (remake BF3) — Nostalgia oke, tapi skala vs 64 pemain terasa kurang pas.
  • New Sobek CitySniper heaven; ada gedung tinggi tidak bisa dihancurkan, sniper aman dari roket; heli sulit karena desain terlalu terbuka.
  • Mirak ValleyTerlalu terbuka dan luas. Infanteri sering terkunci di dua gedung belum jadi di tengah; pinggiran diisi perang tank/udara atau infanteri yang coba menghancurkan kendaraan.

Objective Play vs Padang Pembantaian

Problem klasik: banyak pemain lebih cari kill daripada main objektif. Akibatnya, di mode seperti Breakthrough, Rush, dan Escalation, kekalahan sering datang bukan karena musuh lebih jago, tapi karena tim sendiri lupa tujuan.

Progression & Unlock: Tiga Jalur, Rasa Grindy

BF6 punya tiga level: akun/rank, senjata, dan kelas. XP yang didapat terasa kecil—bahkan 50 kill bisa terasa kenaikannya sedikit. Dari sisi keseimbangan, ini ada bagusnya: mencegah satu tim unggul senjata hanya karena level. Efek sampingnya, grind terasa—tapi game jadi mendorong variasi dan adu skill lebih murni.

Netcode, Stabilitas, Populasi, & Cheater

  • Netcode/hit-reg: Masalah cukup parah, berakhir bisa sangat menyebalkan dan bikin emosi.
  • Stabilitas: sesekali disconnect, dan imbangan tim kadang aneh.
  • Populasi: data aktif bisa tembus ratusan ribu, tapi matchmaking aneh—dari Indonesia, malam/pagi kadang sepi dan akhirnya ketemu bot.
  • Cheater: sulit dideteksi di chaos BF, tapi pengumuman resmi menyebut puluhan ribu pelaku—artinya memang ada, walau di medan BF mereka bisa mati juga oleh kendaraan/ledakan.

Audio MP: Informasi Tajam

Audio medan pertempuran menurutku sangat bagus. Arah langkah, tembakan, dan kendaraan terasa informatif, menambah sensasi “di tengah perang sungguhan”.

Campaign: Variatif di Atas Kertas, Hambar di Eksekusi

Pacing & Misi yang “Nempel”

Pacing campaign naik-turun. Ada momen yang seru banget:

  • “Always Faithful” — bagian penyerbuan musuh ke markas, paling membekas.
  • “The Rock”pembuka terjun payung yang wow… di awal saja.
    Night Raid dan No Sleep sebenarnya bagus, namun tidak meninggalkan kesan dalam untukku.

Cerita & Karakter: Sulit Peduli

Penulisan dan karakter terasa lemah. Alasan perang dan target musuh (komandan) kurang jelas, bahkan cenderung dipaksakan. Sampai tamat, aku tidak terlalu peduli pada Dagger. Untuk franchise sebesar ini, sayang sekali.

Desain Misi & AI

Pendekatan misi linear, kecuali “Operation Ember Strike” di awal yang terasa mini sandbox—setelah bagian utama lewat, kembali linear.
AI musuh condong ke bodoh (sering diam), sementara AI kawan memang lebih membantu daripada seri sebelumnya—AI-nya memang membunuh musuh, meski lambat.
Di atas kertas, ragam misi cukup lengkap—serbu, stealth, lari, bertahan—tapi eksekusinya tidak selalu menciptakan momen berkesan.

Audio, Musik, & Durasi

Audio/musik campaign bagus namun tidak memorable, tapi diluar campaign selalu ke ingat musik khas battlefield sejak battlefield 3. Durasi tamatku 5,17 jam di Recruit, fokus menikmati cerita. Sayangnya, cerita tidak menggigit.

Visual, Performa, & Bug: Spektakel Hebat dengan Catatan

Visual & Destruksi

Secara visual, game ini keren banget. Ledakan dan destruksi terasa wah, dan di multiplayer nyaris selalu ada momen sinematik yang membuat layar seperti film perang.
Namun, ada anomali: misi campaign “Nile Guard” (pakai tank) terasa sangat jelek dan aneh—baik visual maupun pertempurannya—jauh di bawah standar misi tank Battlefield 3 yang rilisan 10 tahun lebih yang lalu.

Performa & Pengaturan Nyaman

Performa lancar di 1080p hingga 1440p pada setelan tinggi (“Preset Overkill”) di speksifikasi aku yang gunakan R7 5800X3D dan 5070Ti. Tapi supaya nyaman, bayangan/shadow sebaiknya Low, apalagi kalau streaming. Jadi game ini lebih bisa dikatakan memerlukan spesifikasi prosesor yang tinggi.
UI/HUD jelas dan QoL pada umumnya baik—aku tidak kebingungan mengatur loadout/kontrol.

Bug & Glitch

Ada beberapa bug minor tapi cukup sering:

  • Naik drone yang dipukul palu untuk mencapai ketinggian dan menembak dari atas (eksploit klasik rasa “BF logic”).
  • Seperti ada tembok tak terlihat di beberapa sudut.
  • Karakter meloncat tinggi sendiri sesekali.
    Tidak mematikan, tapi terasa.

Harga, Nilai, & Rekomendasi

Harga saat kutulis review ini:

  • Rp 800.000Edisi Standar
  • Rp 1.140.000Edisi Phantom
    (Konsol lebih mahal.)

Menurutku, harga ini pantas mengingat kualitas multiplayer dan presentasi visual. Campaign memang mengecewakan, tapi kurasa posisinya “nilai ekstra” saja. Jika ada diskon 10–20% dalam waktu dekat ini setidaknya sampai 1 tahun setelah rilis, boleh ambil, karena kamu masih ikut hype awal.

Rekomendasi akhir:

  • Multiplayer: sangat direkomendasikan—cocok untuk penggemar FPS, pecinta sinematik perang, pengguna kendaraan yang ingin role fair, dan pemburu chaos objektif.
  • Campaign: tidak direkomendasikancerita lemah, beberapa misi aneh (terutama misi tank), dan kurang set piece ikonik (bahkan tidak ada misi jet). Anggap bonus saja.

Kesimpulan

Battlefield 6 mengembalikan roh utama seri ini ke medan tempur multiplayer: mode intens (Breakthrough/Escalation), kendaraan lebih fair, audio yang menggigit, dan desain peta kota yang menghadirkan chaos rapat. Gunplay mencoba semi-realistis tanpa membuang rasa arcade, sementara progression sengaja grindy untuk menjaga keseimbangan—suka atau tidak, itu pilihan desain.

Di sisi lain, campaign terasa naik-turunbeberapa momen oke, namun penulisan dan karakter tidak membuatku peduli. Visual memang kencang, tetapi anomali kualitas seperti “Nile Guard” membuatku garuk-garuk kepala.

Kalau kamu datang untuk MP: wajib coba. Kalau kamu berharap SP kelas blockbuster: jangan terlalu berharap. Secara keseluruhan, ini layak dibeli, dan makin menarik jika kamu menemukan diskon 10–20% dalam waktu dekat.

Review Palworld Early Access — Eksplorasi Seru, Potensi Besar, dan Banyak yang Perlu Diasah

0

Aku memainkan Palworld versi Early Access di PC menggunakan keyboard–mouse, sepenuhnya solo. Fokusku sederhana: eksplorasi dunia walau belum semuanya, lalu menguji fitur-fitur inti, dan meraba arah desain game ini tanpa terburu-buru. Dari sini, satu kalimat yang paling tepat menggambarkannya adalah: Palworld adalah game menarik yang berpotensi besar untuk eksplorasi.

Review Palworld Early Access (2025) Versi Narasi

Review ini juga tersedia dalam bentuk video narasi yang saya bacakan. Di video tersebut, kamu bisa menonton versi singkat dari ulasan ini. Silakan klik di sini untuk menuju channel gaming saya, atau langsung tonton melalui pemutar di bawah.

Gameplay Palworld Early Access (2025)

Dunia & Eksplorasi

Luas dan Beragam

Dunia Palworld terasa luas dengan variasi bioma yang memberiku banyak alasan untuk melangkah lebih jauh. Aku menikmati momen-momen singkat ketika medan berubah dan aktivitas kecil membuka celah eksperimen baru—entah itu berburu resource, menguji mount, atau memetakan rute yang lebih efisien.

Traversal: Fast Travel Paling Terpakai

Untuk urusan mobilitas, fast travel adalah fitur yang paling sering kupakai, itu sangat berguna di dunia yang sangat luas. Glider dan mount juga menarik, terutama saat butuh rasa “petualangan”, tapi kalau targetnya efisiensi, aku tetap kembali ke fast travel. Malam/cuaca? Menurutku seru—cukup memberi variasi ritme tanpa menjadi hambatan berlebihan.

Kombat & Ritme Pertarungan

Dari Melee ke Tembak-Tembakan + Pal

Awalnya game hanya bertarung melee tepatnya senjata primitif, namun jika proses pembangunan cepat maka ritme gamenya akan bergeser menjadi tembak-tembakan sembari mengandalkan Pal. Perpindahan ini terasa natural: di awal kamu “bertahan hidup”, lama-lama kamu mulai mengorkestrasi Pal sebagai bagian dari strategi.

Bos/Tower/Dungeon: Fun tapi Repetitif

Tower boss/raid/dungeon menurutku repetitif. Bukan berarti tidak seru, hanya saja polanya terasa cepat terbaca. Ini titik yang menurutku punya ruang besar untuk disegarkan di update selanjutnya.

AI Pal Saat Bertarung: “Biasa Aja, tapi Nggak Goblok”

Untuk urusan AI Pal di pertempuran, rasanya tidak cerdas tapi juga tidak bodohstandar seperti AI pada umumnya. Artinya, pekerjaan selesai, tapi jarang bikin “wow”.

Menangkap Pal, Trait, dan Breeding

Rate Tangkap: Fair, Tergantung Bola

Rate tangkap terasa fair, tapi sangat bergantung jenis bola dan Pal-nya. Dengan bola yang tepat, proses jadi memuaskan; dengan bola yang keliru, ya siap-siap sabar.

Trait & Breeding: Belum Jadi Fokus

Aku tidak memerhatikan kombinasi trait secara mendalam kali ini, dan belum mencoba breeding. Jadi pandanganku di sini murni dari loop eksplorasi dan kebutuhan review fitur—bukan meta min–maxing.

Base Building & Otomatisasi

Tujuan: Produksi untuk “Buka-Bukaan Fitur”

Base kubangun dengan fokus produksi—menyalakan stasiun, memproses material, dan membuka fitur-fitur agar bisa kucoba. Rasa membangunnya cukup memuaskan untuk progress harian.

Pathing & Stamina: Umumnya Lancar, Tapi…

Kerja Pal di base umumnya lancar, meski tergantung trait & tipe Pal kadang mereka sering AFK atau kelelahan. Ini wajar di game survival–otomatisasi, tapi tetap terasa ketika alur produksi lagi padat.

Radius Kerja & Prioritas Tugas: Perlu QoL

Kerja Pal berjalan dalam radius lingkaran di sekitar base. Rasanya agak sempit, sehingga penataan bangunan harus cermat. Menurutku menarik jika ke depan batas base bisa “dilukis” pemain (dengan limit yang wajar).
Aku juga tidak menemukan fitur prioritas tugas—Pal tampak memilih pekerjaan secara acak sesuai kemampuan. Quality of life seperti prioritas, zona kerja, atau link storage yang lebih cerdas akan sangat membantu.

Serangan ke Base

(Informasi khusus tentang frekuensi serangan musuh ke base belum kupastikan, jadi aku tidak menilai bagian ini, sejauh ini aku menemukan serangan ke base tapi kejadian cukup jarang dan acak.)

Ekonomi Sumber Daya & Crafting

Resource: Tidak Terlalu Grind

Sumber daya terasa tidak terlalu grindy. Respawn akan reset setelah beberapa hari in-game (aku perkirakan sekitar 1–2 hari in-game atau beberapa menit di dunia nyata). Ini menjaga alur eksplorasi dan crafting tetap bergerak tanpa terasa tersendat lama.

Durability & Waktu Crafting: Pas

Durability menurutku pas—tidak menyiksa. Waktu crafting juga pas, tidak terasa ditarik-tarik hanya untuk memperlambat progress, tapi tentu semakin canggih teknologinya semakin lama craftingnya, tapi masih masuk akal.

Cerita, Misi, & Naskah

Cerita: Pengantar Saja

Untukku, cerita/tone dunia lebih seperti pengantar—tidak ada hal penting yang mendikte permainan. Misi hadir sebagai pemanis agar pemain punya jalur aktivitas yang jelas, bukan sebagai tiang utama pengalaman.

Dialog & Teks: Generik

Dialog/teks terasa generik—cukup membumikan sistem, tapi tidak sampai membangun identitas naratif yang kuat.

Audio, Musik, Visual, & Performa

Audio & Musik: Standar–Generik

Efek suara menurutku standar dan musik generik. Fungsional, tidak mengganggu, namun bukan kekuatan utama yang membekas.

Visual & Performa: Mulus di 1080p

Secara visual, Palworld “seperti game 3D pada umumnya”—tidak buruk, tidak spesial. Yang penting, di preset Epic/rata kanan dengan DLSS, performanya mulus di 1080p pada PC-ku. Ini memberiku kepercayaan diri untuk terus eksplor tanpa pusing stutter.

Kontrol & Antarmuka

Kontrol KBM: Enak

Kontrol KBM terasa enak dan responsif—cukup untuk membuat pertarungan dan rangkaian aktivitas berjalan luwes.

UI/UX: Rapi dan Mudah Dipahami

UI/UX menurutku oke: rapi, tidak ribet, dan mudah dipahami oleh berbagai level pemain. Ini penting untuk game yang memuat banyak sistem.

Stabilitas & Bug

Bersih di Sesi-ku

Dalam sesi permainan ini, aku tidak bertemu bug berarti. Tidak ada crash, tidak ada desync aneh. Tentu ini bisa berubah di perangkat/versi lain, tapi pengalamanku stabil.

Harga, Nilai, & Rekomendasi

Harga Early Access: Pantas

Aku bermain di harga Early Access Rp 245.999. Menurutku, ini sangat pantas untuk playtime yang lama dan loop eksplorasi yang cukup seru. Untuk diskon ideal tertinggi, 30% sudah terasa manis tanpa meremehkan nilai kerja pengembang.

Rekomendasi: Luas, tapi Bukan untuk Pembenci Grind

Aku merekomendasikan Palworld—nyaris cocok untuk semua orang, terutama yang suka survival–eksplorasi dengan otomatisasi ringan dan tangkap makhluk. Catatan penting: kalau kamu benci grinding dalam bentuk apa pun, ini mungkin bukan game favoritmu.


Harapan ke Depan (Early Access Roadmap Versiku)

AI & Sistem

  • AI Pal lebih cerdas dalam manajemen tugas di base (prioritas kerja, zonasi, dan pengaturan shift/istirahat).

Dunia & Mekanik

  • Bioma baru untuk memperpanjang rasa penemuan.
  • Bisa menyelam untuk vertikalitas eksplorasi yang berbeda.
  • Cuaca yang lebih variatif dan fleksibel untuk dinamika dunia.

(Untuk endgame/breeding/meta trait, aku belum bermain ke arah itu—jadi tidak berkomentar.)


Kesimpulan: “Palworld EA di 2025 itu…”

Palworld adalah game menarik yang berpotensi besar untuk eksplorasi.
Sebagai pemain solo yang fokus mengecek fitur, aku mendapatkan dunia luas, mobilitas praktis, kombat yang berkembang dari melee ke tembak + Pal, base produksi yang memuaskan, serta ekonomi resource yang tidak terlalu grindy. Di sisi lain, AI Pal, QoL base (radius & prioritas), dan variasi aktivitas endgame masih menjadi area yang bisa dipoles.

Dengan harga Early Access yang pantas dan performa yang mulus di 1080p, aku nyaman merekomendasikannya. Kalau kamu datang untuk eksplorasi dan menguji sistem, Palworld sudah menyenangkan hari ini—dan terasa menjanjikan untuk esok.

Review Roblox di 2025 (PC) — Gratis, Fleksibel, dan Tergantung “Siapa yang Membuat”

0

Aku baru pertama kali benar-benar menjajal Roblox di PC pada tahun 2025. Bukan cuma “coba sekali lalu pergi”, tapi main beneran: ganti-ganti input antara keyboard–mouse dan controller, lompat ke banyak “experience” buatan komunitas, dan merasakan sendiri bagaimana platform ini hidup dari kreativitas para developer. Pertanyaan besarnya: seberapa layak Roblox di 2025 untuk pemain baru—terutama yang biasa main game “serius” di PC? Jawaban pendeknya: layak, gratis, dan amat tergantung siapa yang bikin gamenya.

Review Roblox Versi Narasi

Review ini juga tersedia dalam bentuk video narasi yang saya bacakan. Di video tersebut, kamu bisa menonton versi singkat dari ulasan ini. Silakan klik di sini untuk menuju channel gaming saya, atau langsung tonton melalui pemutar di bawah.

Gameplay Roblox

Ruang Main yang Kusayangi: “Mount & Adventure”

Kecenderunganku jelas: aku suka map gunung dan pendakian yang beraroma adventure. Di Roblox, aku habiskan waktu di:

  • Area Pertempuran, ini mode game perang FPS
  • Gunung Daun
  • Gunung Aneh
  • Gunung Sumbing
  • Mount Jawa
  • Gunung Sunda
  • Gunung Rinjani
  • Mount Ramah
  • Gunung Talamau
  • Mount Sigma

Dari semua itu, Gunung Talamau paling “nempel”. Kenapa? Karena visualnya rapi dan penyusunan mapnya detail—cukup untuk mengubah stereotip lama bahwa “grafik Roblox jelek”. Bukan, tentu belum sekelas AAA, tapi “cakep” dalam art direction dan rapi dalam tata ruang. Dari sini aku paham satu hal: Roblox itu sangat ditentukan oleh niat developer. Ada yang bikin sekadar “yang penting seru”, ada juga yang mengejar seru + visual tertata—bahkan ada yang terasa “nyaris sempurna” untuk ukuran sandbox komunitas.

Rasa Kontrol & Movement: Enak, Tapi Kadang “Kepo”

Secara umum, kontrol terasa enak, namun kadang kaku—dan ini sulit ditarik simpul karena tiap developer beda. Ada pengalaman aneh yang aku alami: karakter berjalan sendiri padahal tombol sudah kulepas. Entah bug patch Roblox atau skrip input di game tertentu, yang jelas tidak konsisten di semua judul. Di beberapa game, aiming dan movement mulus; di yang lain, respons terasa terlambat. Ini konsekuensi platform kreator: keragaman adalah kekuatan, tapi juga variabel kualitas.

Genre & Progression: “Ada Semua, Rasanya Banyak”

Di Roblox, hampir semua genre ada: action, RPG, tycoon, obby/parkour, horror, shooter, simulasi, sampai sandbox eksplorasi seperti gunung-gunungan favoritku. Soal progression, rasanya macam-macam: ada yang ringan tanpa grind, ada pula yang grindy—tapi grind di sini tidak terasa “jahat” kalau sejak awal game-nya memang mendesain kesenangan dari eksplorasi atau komunitas. Intinya, sesuaikan preferensimu: mau yang santai–adventure atau yang berat–progression, dua-duanya gampang dicari.

Momen “Wah” yang Mengubah Persepsi

Ketika Gunung Talamau memperlihatkan visual yang tertata dan detail, aku berhenti sebentar. Roblox bisa secantik ini? Ternyata bisa, kalau developernya niat. Sejak itu, ekspektasiku berubah: Roblox bukan soal teknologi grafis, melainkan soal rasa, layout, dan kurasi detail. Ada juga momen kecil lain: menemukan jalur sempit yang menyulitkan KBM dan controller—membuktikan bahwa desain level punya dampak besar pada kenyamanan, bukan cuma “mesin grafisnya”.

Sisi Nyebelin: Auto-Server & Desain yang Kurang Ramah Input

Jujur, aku jarang kesal. Tapi ada dua hal yang bikin geleng kepala:

  1. Auto-pilih server yang aneh: kadang data menunjukkan player 1.000 online, tapi saat masuk room terasa sepi. Migrasi instance/region? Bisa jadi. Yang jelas, pengalaman jadi timpang.
  2. Desain level yang kurang ramah KBM/controller: tangga terlalu sempit, sudut kamera susah, atau platforming “ketat” yang tak mempertimbangkan deadzone dan key repeat. Ini bukan salah Roblox-nya, tapi pilihan desain di masing-masing game.

Sosial, Matchmaking, dan Moderasi

Pengalaman ramai/sepi sangat bergantung judul. Ada game yang selalu full, ada yang hampir kosong. Toxic chat? Sejauh aku main, aman.
Moderasi? Aku tidak melihat langsung prosesnya, tapi ada kasus keluarga: adikku pernah kena banned karena “digendong” cheater. Dari sudut pandangku, ini terlalu keras—semestinya cheater-nya yang ditindak, pemain awam cukup penalti ringan. Tapi, di Roblox, aturan per-game sering bergantung developer atau admin yang aktif; efeknya, kebijakan moderasi bisa terasa acak dari satu game ke game lain.

Monetisasi: Gratis Masuk, Biaya untuk Gaya

Aku belum top-up karena aku memang main untuk eksplorasi, tapi skema Robux terlihat ramah dibanding game besar berbayar. Contoh kasarnya:

  • 80 Robux ≈ Rp18.000
  • Banyak item avatar (kepala–kaki) berkisar 51–85 Robux
  • Top-up Rp200.000 sudah bisa bikin avatar full (tergantung model)

UGC item (kosmetik) sejauh yang kucoba sifatnya gaya, bukan pay2win. Gamepass/p2w? Aku belum bertemu yang kasar, tapi tentu bisa ada di judul lain yang belum kucoba. Intinya, Roblox itu F2P dan cukup murah kalau hanya ingin tampil beda.

Visual & Performa: “Jadul Menawan” vs “Niat Elegan”

Secara art direction, Roblox memang blocky dan “jadul”—tapi kembali lagi: niat developer bisa melahirkan hasil detail dan menawan. Performa di PC-ku stabil, loading cepat, dan ping aman. Audio? Tidak ada standar global; tiap game memutuskan sendiri—ada yang generik, ada yang rapi. Aku tidak bisa menarik simpulan menyeluruh tanpa mengulas satu per satu.

Keamanan & Kenyamanan

Cheater/exploit yang kulihat sendiri tidak ada—meski pernah lihat sekali saat adikku bermain. Rasanya bukannya tidak ada, tapi bisa saja jarang di game yang kumasuki. Konten sensitif seperti gambling/scam juga tidak kutemui secara langsung. Fitur keamanan akun (2FA, privacy) tidak kugunakan, jadi aku tidak berkomentar di sini.

Waktu & Populasi

Aku lebih sering bermain malam. Seperti biasa, game populer akan tetap ramai di jam itu, sedangkan niche bisa sepi. Ini normal untuk platform komunitas yang memuat ribuan pengalaman.

Hal-Hal yang Perlu Kamu Tahu Sebelum Main

  • Roblox PC tidak sepenuhnya “plug-and-play” untuk semua game. Beberapa judul perlu adaptasi—terutama aiming dengan mouse atau gerak halus dengan controller.
  • Variasi kualitas itu nyata. Jangan berhenti di satu game; coba beberapa sampai menemukan “rumah” yang pas.
  • Jangan kaget dengan level desain sempit atau input yang aneh—itu bukan “bug Roblox”, melainkan keputusan kreatif developer masing-masing.
  • Gratis adalah kekuatan utama. Kalau bingung mau main apa, Roblox bisa jadi sandbox eksplorasi tanpa biaya.

Rekomendasi & Untuk Siapa Roblox Cocok

Aku merekomendasikan Roblox. Platform ini cocok untuk:

  • Siapa saja yang ingin eksplorasi tanpa biaya (F2P),
  • Pemain kasual yang suka gonta-ganti genre,
  • Pemburu pengalaman unik (map gunung/adventure, obby kreatif, simulasi nyeleneh).

Tapi, kalau kamu penikmat visual wah dan tidak suka tampilan sederhana, Roblox mungkin bukan jawabannya—kecuali kamu rela berburu pengalaman yang dibuat sangat niat.

Harga & Nilai (2025)

Secara umum, Roblox itu gratis. Kalau hanya ingin kustomisasi avatar, biaya ≈Rp200.000 sudah cukup untuk set penuh (tergantung item). Buatku, ini wajar—apalagi kalau dibandingkan microtransaction game besar. Untuk saat ini, aku belum top-up; mungkin nanti untuk skin karakter.

Kesimpulan

Roblox di 2025 di PC adalah platform seru yang hidup dari niat pembuatnya. Gameplay sebagian besar enak, meski kadang kaku di judul tertentu. Genre berlimpah, progression bervariasi, dan ada momen “wah” yang bisa membalik persepsi—terutama ketika menemukan map yang niat seperti Gunung Talamau. Sisi nyebelin paling terasa justru dari auto-pilih server dan desain level yang tidak selalu ramah untuk KBM/controller.

Dari sisi sosial dan moderasi, pengalaman aman, meski aku tahu kasus ban “salah sasaran” bisa terjadi—apalagi jika developer mengatur kebijakan sendiri. Monetisasi terasa ringan: Robux murah untuk gaya, dan tanpa paksaan. Performa stabil, loading cepat, dan audio sepenuhnya bergantung game yang kamu masuki.

Kalau kamu bingung mau main apa dan ingin sesuatu yang gratis, Roblox sangat layak dicoba. Platform ini bukan “satu game untuk semua”, tapi banyak sekali game yang bisa kamu temukan hingga akhirnya kamu berkata, “Oke, ini gaya mainku.” Dan saat momen itu datang—entah di Mount Jawa, Gunung Rinjani, atau Gunung Talamau—kamu akan paham kenapa Roblox tetap relevan: bukan karena teknologinya, tapi karena kreativitas manusianya.

Kami no Niwatsuki Kusunoki-tei Ungkap Pemeran Tambahan & Video Karakter — Tayang 2026

0

Situs resmi Kami no Niwatsuki Kusunoki-tei (Kusunoki’s Garden of Gods) merilis video promosi karakter bersamaan dengan konfirmasi pemeran tambahan. Adaptasi dari novel fantasi karya Enju ini ditargetkan tayang pada tahun 2026.

Pemeran

  • Minato Kusunoki: Shougo Sakata
  • Yamagami: Shinshuu Fuji
  • Seri: Shinnosuke Tokudome
  • Torika: Minako Kotobuki
  • Utsugi: Makoto Koichi

Sumber Materi

Novel Kami no Niwatsuki Kusunoki-tei mulai hadir di Shousetsuka ni Narou sejak April 2021. ASCII Media Works menerbitkan versi cetak di label Dengeki no Shin Bungei sejak November 2021 dengan ilustrasi ox, dan telah mencapai volume kesepuluh pada 17 Juli 2025—mencatat peredaran 500.000 eksemplar.
Adaptasi manga oleh Akira Anzai berjalan di ComicWalker/Kadocomi sejak November 2021; volume keempat rilis Desember 2024. Untuk rilis global, Yen Press menerbitkan edisi bahasa Inggris; volume kedua terbit 20 Mei 2025, volume ketiga menyusul 11 November 2025.

Character Trailer: https://www.youtube.com/watch?v=ug-apQPdFPw

Re:Monster Season 2 Resmi Diumumkan — Teaser Visual Perdana Dirilis

0

Perusahaan produksi Infinite mengonfirmasi Re:Monster Season 2, lengkap dengan teaser visual perdana. Musim pertama garapan Studio DEEN mengadaptasi light novel isekai fantasi karya Kogitsune Kanekiru dan tayang 12 episode pada Musim Semi 2024, dengan Crunchyroll menayangkan secara simulcast beserta subtitle dan dub multi-bahasa. Bstation juga menayangkan anime ini dan memiliki subttitle Indonesia, Thailand, Mandarin, dan Melayu (Malaysia).

Sumber cerita Re:Monster bermula di Shousetsuka ni Narou sejak Mei 2011. AlphaPolis kemudian menerbitkan versi cetak mulai Juli 2012 dengan ilustrasi Yamaada, menutup volume kesembilan pada Juli 2017. Sekuel novel Re:Monster: Ankoku Tairiku-hen karya Kankiru dengan ilustrasi Naji Yanagida terbit sejak Juni 2018; volume keempat rilis Maret 2024 dan volume kelima menyusul hari Jumat ini. Total sirkulasi seri mencapai 2,1 juta eksemplar.
Adaptasi manga oleh Haruyoshi Kobayakawa berjalan di situs resmi AlphaPolis sejak Maret 2014. Volume ke-12 terbit Oktober 2024, sementara volume ke-13 juga dijadwalkan rilis hari Jumat ini. Untuk pasar berbahasa Inggris, Seven Seas Entertainment menerbitkan manga hingga volume ke-11 (10 Juni 2025), dengan volume ke-12 dijadwalkan 6 Januari 2026.

Dengan fondasi materi yang terus berkembang—dari novel utama, sekuel, hingga manga—Re:Monster Season 2 diharapkan mengangkat fase evolusi berikutnya, intrik antarras, serta eskalasi pertempuran khas dunia Ankoku Tairiku.

Tate no Yuusha no Nariagari Season 5 Resmi Diproduksi — Teaser Perdana Dilepas

0

Episode ke-12 Tate no Yuusha no Nariagari Season 4 menutup penayangan dengan kabar yang sudah ditunggu: Tate no Yuusha no Nariagari Season 5 (The Rising of the Shield Hero Season 5) resmi dalam produksi. Bersamaan dengan pengumuman itu, situs resmi melepas teaser trailer serta ultra-teaser visual, memantik spekulasi soal arc baru yang bakal diadaptasi.

Sejauh ini, seri anime garapan Kinema Citrus hadir konsisten: musim pertama tayang 25 episode pada Musim Dingin 2019, disusul Musim Semi 2022 (Season 2), Musim Gugur 2023 (Season 3), dan Musim Panas 2025 untuk Season 4 (12 episode). Distribusi globalnya dipegang Crunchyroll dengan subtitle dan dub multi-bahasa.

Fondasi ceritanya bersumber dari novel fantasi petualangan karya Yusagi Aneko (ilustrasi Seira Minami) yang berawal di Shousetsuka ni Narou pada Oktober 2012 sebelum diterbitkan Kadokawa. Waralaba ini telah beredar kumulatif 11 juta eksemplar. Adaptasi manga oleh Kyu Aiya di Comic Flapper terus memperkaya materi bagi pembaca komik.

Teaser Trailer: https://www.youtube.com/watch?v=wc5kV7GUgHI

Pada intinya, The Rising of the Shield Hero Season 5 menjanjikan eskalasi taruhannya—bukan cuma pertahanan di medan tempur, tapi juga ujian pilihan dan kepercayaan di dalam party Naofumi.

Girls Band Cry Umumkan Film Baru dengan Kisah Orisinal

0

Semesta Girls Band Cry terus berlanjut. Situs resmi mengumumkan film baru dengan cerita orisinal, diproduksi oleh Toei Animation, sekaligus merilis teaser visual perdana. Ini bukan rangkuman, melainkan bab terbaru yang mengekspansi dinamika para personel di panggung dan di balik layar.

Serial TV orisinalnya tayang 13 episode pada Musim Semi 2024. Untuk penonton Indonesia, Catchplay+ melakukan simulcast sejak 31 Mei dengan subtitle Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Versi internasional bersubtitel Inggris juga tersedia di Fandango at Home, Microsoft Store, Hoopla, dan Amazon Prime Video mulai 13 Agustus.
Di luar film orisinal ini, film kompilasi dua bagian yang pernah diumumkan di konser Togenashi Togeari 2nd One-Man Live “Rinne no Kotowari” dijadwalkan rilis 2025 di bioskop—jadi 2025 untuk rekap, dan film baru untuk kisah segar.

Anime Death Stranding Mosquito Resmi Diumumkan — Teaser & Staf Utama Diungkap

0

Kojima Productions mengumumkan film anime Death Stranding Mosquito pada siaran ulang tahun ke-10 bertajuk “Beyond the Strand.” Bersamaan dengan itu, studio merilis teaser visual dan teaser trailer, sekaligus memperkenalkan staf kunci. Proyek ini diproduksi bersama pihak Hollywood dan menjadi judul perdana dari ABC Animation Studio.

Staf Utama

  • Director: Hiroshi Miyamoto
  • Screenplay: Aaron Guzikowski
  • Producer: Hideo Kojima
  • Studio: ABC Animation Studio (koproduksi dengan pihak Hollywood)

Latar Singkat Waralaba

Gim Death Stranding garapan Kojima Productions rilis pertama kali di PlayStation 4 (November 2019), lalu Windows (Juli 2020), PlayStation 5 (September 2021), iOS/iPadOS/macOS (Januari 2024), serta Amazon Luna dan Xbox Series X|S (November 2024). Gim ini menembus 5 juta kopi (Juli 2021) dan total 20 juta pemain (April 2025). Sekuel Death Stranding 2: On the Beach meluncur untuk PlayStation 5 pada 26 Juni 2025.
Pada ajang The Game Awards 2019, Death Stranding meraih Best Game Direction, Best Score/Music, dan Best Performance (Mads Mikkelsen).

Premis Dunia Death Stranding

Di masa depan, fenomena Death Stranding membuka celah antara dunia hidup dan mati. Sosok-sosok gaib berkeliaran di lanskap Amerika yang hancur. Sebagai Sam Bridges, misi pemain adalah menyambungkan kembali para penyintas, menata ulang jaringan harapan—setapak demi setapak.

Teaser Trailer: https://www.youtube.com/watch?v=GFLoRTwPtic

Tamon’s B-Side Umumkan Staf Tambahan & Trailer — Tayang Januari 2026

0

Situs resmi adaptasi anime Tamon-kun Ima Docchi!? (Tamon’s B-Side) karya Yuki Shiwasu merilis trailer terbaru sekaligus mengumumkan deretan staf tambahan. Serial ini dijadwalkan tayang pada Januari 2026.

Kru Utama

  • Sutradara: Chika Nagaoka
  • Studio: J.C.STAFF
  • Series Composition & Naskah: Chiaki Nagai (22/7)
  • Desain Karakter & Chief Animation Director: Youko Itou

Staf Tambahan

  • Chief Animation Director: Mitsuru Chiba, Airi Tsuyuki
  • Prop Design: Moe Fujii
  • Art Director: Yu Li
  • CG Director: Ayaka Monma
  • 2D Design: Makoto Yoshigaki
  • Color Design: Miho Kimura
  • Director of Photography: Fuuka Aoyagi
  • Editing: Misato Takikawa
  • Music: Takashi Oomama, Natsumi Tabuchi
  • Sound Director: Fumihiko Ootera
  • Sound Effects: Sachiko Nishi
  • Sound Production: Rie Tanaka

Sumber & Rilisan

Manga Tamon-kun Ima Docchi!? berawal sebagai one-shot di Hana to Yume pada Agustus 2021, lalu berlanjut ke serialisasi reguler pada Oktober 2021. Hakusensha menerbitkan volume ke-11 pada 20 Juni 2025.
Untuk pembaca global, VIZ Media merilis edisi bahasa Inggris; volume ke-8 terbit 1 Juli 2025, dengan volume ke-9 dijadwalkan 7 Oktober 2025.

Trailer: https://www.youtube.com/watch?v=WM3fJbNObSA

Futsutsuka na Akujo dewa Gozaimasu ga Umumkan Pemeran Utama & Teaser Baru — Tayang 2026

0

Situs resmi adaptasi anime Futsutsuka na Akujo dewa Gozaimasu ga: Suuguu Chouso Torikae Den (Though I Am an Inept Villainess: Tale of the Butterfly-Rat Body Swap in the Maiden Court) merilis teaser visual dan teaser trailer kedua, sekaligus mengonfirmasi dua pemeran utama. Serial yang mengangkat intrik istana dan romansa dengan bumbu pertukaran tubuh ini dijadwalkan tayang pada tahun 2026.

Di lini pengisi suara, Manaka Iwami memerankan Reirin Kou, sementara Natsumi Kawaida berperan sebagai Keigetsu Shu. Kursi sutradara dipercayakan kepada Mitsue Yamazaki di Doga Kobo. Yoshiko Nakamura menangani series composition, dan Ai Kikuchi bertugas sebagai desainer karakter—kombinasi yang menjanjikan eksekusi dramatis yang rapi, ritme narasi yang solid, serta ekspresi karakter yang kuat.

Sumber ceritanya adalah novel fantasi romansa karya Satsuki Nakamura yang lahir di Shousetsuka ni Narou pada Juli 2020, lalu dicetak oleh Ichijinsha Novels sejak Desember 2020 dengan ilustrasi Kana Yuki. Volume ke-10 terbit 02 April 2025, dan volume ke-11 dijadwalkan 30 September 2025. Adaptasi manga oleh Ei Ohitsuji berjalan di Comic ZERO-SUM sejak Desember 2020; volume ke-8 rilis 25 Februari 2025, dengan volume ke-9 menyusul 30 September 2025. Untuk pembaca global, Seven Seas Entertainment menerbitkan versi Inggris untuk novel maupun manga.

Teaser Trailer 2: https://www.youtube.com/watch?v=w6Ox20gOM-E

There’s No Freaking Way I’ll Be Your Lover! Unless… Umumkan Sekuel 5 Episode — Tayang Bioskop Dulu 21 November

0

Episode ke-12 Watashi ga Koibito ni Nareru Wake Nai jan, Muri Muri! (※Muri ja Nakatta!?)/ There’s No Freaking Way I’ll Be Your Lover! Unless… menutup musim dengan pengumuman sekuel 5 episode. Sebelum tayang di televisi, versi suntingan khusus bioskop bertajuk Next Shine akan diputar di Jepang mulai 21 November. Sekuel ini mengadaptasi volume ke-4 dari novel ringan girls’ love karya Teren Mikami.

Diproduksi studio MOTHER, versi TV perdana pada 08 Juli 2025. REMOW menayangkan global di kanal It’s Anime (YouTube) dengan multi-subtitle. Novel asli (julukan: Watanare) terbit di Dash x Bunko sejak Februari 2020 dengan ilustrasi Eku TakeshimaShueisha menerbitkan volume ke-7 pada Desember 2024, disusul volume ke-8 pada 25 September 2025. Adaptasi manga oleh Musshu berjalan di Suiyoubi wa Mattari Dash X Comic sejak Mei 2020; volume ke-8 rilis 18 Juni 2025.

Teaser Trailer (Next Shine): https://www.youtube.com/watch?v=xoXRSXgjme0

Ringkasan Cerita (intisari)

Renako Amaori—mantan gadis kuper yang “debut” di SMA—tiba-tiba diperebutkan dua bintang sekolah: Mai Ouzuka (si “pangeran”) dan Ajisai Sena (si “malaikat”). Di tengah kebingungan jawaban, Renako ikut acara cosplay untuk membantu Kaho—dan justru menemukan dorongan baru dalam dirinya. Benarkah “nggak mungkin jadi kekasih”? Atau… sejak awal “muri” itu tidak benar-benar mustahil?

Grand Blue Season 3 Resmi Diproduksi — Diumumkan di Final Season 2

0

Episode ke-12 Grand Blue Season 2 menutup musim dengan kejutan: Grand Blue Season 3 resmi sedang diproduksi. Bersamaan dengan itu, situs resmi merilis announcement visual yang menangkap kembali kekacauan khas Diving Club Izu.

Diproduksi Zero-G, musim pertama tayang 12 episode pada Musim Panas 2018. Season 2 mengudara mulai 08 Juli 2025. Distribusi: Amazon Prime Video menayangkan Season 1, sementara Crunchyroll melakukan simulcast Season 2 dengan subtitle multi-bahasa.

Adaptasi ini bersumber dari manga komedi seinen karya Kenji Inoue dan Kimitake Yoshioka, terbit di good! Afternoon sejak April 2014. Kodansha merilis volume ke-24 pada 07 April 2025, dengan volume ke-25 dijadwalkan 07 Oktober 2025. Total peredaran seri menembus 10 juta eksemplar (termasuk digital). Versi live-action produksi Warner Bros. Japan tayang Agustus 2020 dan meraup 452 juta yen.

Fumetsu no Anata e Season 3 Tayang 04 Oktober 2025 — Trailer Baru & 4 Seiyuu Pendukung Terungkap

0

Situs resmi Fumetsu no Anata e Season 3 (To Your Eternity Season 3) merilis trailer ke-2 dan mengumumkan empat pengisi suara pendukung. Musim ketiga akan mulai tayang pada 04 Oktober 2025.

Pengisi Suara Baru

  • Shizuka Itou sebagai Izumi
  • Shinichiro Miki sebagai Itsuki
  • Rumi Ookubo sebagai Mimori
  • Tasuku Hatanaka sebagai Hirotoshi

Lagu Tema

Grup J-pop Perfume membawakan lagu pembuka “Fumetsu no Anata”, yang sudah diperdengarkan dalam trailer terbaru.

Kilas Karya & Rilis Terdahulu

Adaptasi ini bersumber dari manga fantasi supernatural karya Yoshitoki Ooima, yang terbit di Weekly Shounen Magazine sejak November 2016 dan menutup serialisasinya pada Juni 2025. Kodansha menerbitkan volume ke-25 (final) pada 12 Agustus 2025.
Musim pertama (20 episode) diproduksi Brain’s Base dan tayang pada Musim Semi 2021, disusul musim kedua (20 episode) oleh Drive pada Musim Gugur 2022. Crunchyroll dan Bstation menayangkan keduanya dengan subtitle.

Trailer ke-2: https://www.youtube.com/watch?v=JmT51BjIJ5w

Pada intinya, Season 3 menjanjikan fase baru perjalanan Fushi—dengan relasi yang lebih rumit, konsekuensi yang lebih berat, dan nuansa emosional yang tetap jadi ciri utama seri ini.

Ao no Orchestra Season 2 Umumkan Trailer Perdana & Tambahan Pengisi Suara — Tayang 05 Oktober 2025

0

Situs resmi Ao no Orchestra Season 2 (Blue Orchestra Season 2) merilis promotional video perdana sekaligus mengumumkan tiga pengisi suara baru. Adaptasi dari manga drama musikal karya Makoto Akui ini akan tayang pada 05 Oktober 2025.

Trailer

Pengisi Suara Baru

  • Hiroshi Kamiya sebagai Yuusuke Sakuma
  • Makoto Kaneko sebagai Toshiki Tsutsui
  • Iori Saeki sebagai Rika Tougane

Lagu Tema

  • Opening:Amadeus” — Galileo Galilei
  • Ending:Ao no Mahou” — ChoQMay
    (Keduanya hadir sekilas dalam PV.)

Staf Utama (Kembali)

  • Sutradara: Seiji Kishi (Nippon Animation)
  • Series Composition: Yuuko Kakihara
  • Desain Karakter: Kazuaki Morita
  • Komposer Musik: Akira Kosemura
  • Sound Director: Satoki Iida

Manga Ao no Orchestra mulai terbit di aplikasi MangaONE pada April 2017 dan di majalah Ura Sunday sebulan setelahnya. Shogakukan menerbitkan volume ke-12 pada 12 Maret. Dengan kombinasi rivalitas orkestra, aransemen baru, dan dinamika karakter yang lebih dewasa, musim kedua tampak siap menekan tempo emosi dan performa panggung ke level berikutnya.

Hanaori-san wa Tensei Shite mo Kenka ga Shitai Diumumkan Jadi Anime — Tayang 2026

0

Perusahaan produksi Pony Canyon membuka situs resmi dan merilis teaser visual untuk adaptasi anime Hanaori-san wa Tensei Shite mo Kenka ga Shitai (Hanaori-san Wants to Have a Fight Even If She Reincarnates). Serial komedi romansa ini dijadwalkan mengudara pada tahun 2026. Manga karya Hekiru Hikawa terbit di Monthly Morning Two sejak Agustus 2021; Kodansha merilis volume ketujuh pada 21 Maret, disusul volume kedelapan yang mulai dijual pada hari Senin. Informasi terbaru, visual, dan pengumuman resmi dapat dipantau langsung melalui situs resmi hanaorisan-anime.com dan akun X @hanaori_anime.

Sinopsis

Narukami Ryusei adalah seorang NEET yang kelihatannya cuma mager dan main gim, tetapi sebenarnya ia mantan raja iblis dari dunia lain. Di dunia yang kini damai, Hanaori Mityamantan pahlawan yang dulu menaklukkannya—kembali muncul sebagai siswi SMA dan tiba-tiba hadir dalam hidup Ryusei. Pertemuan ulang ini menyalakan kembali “pertengkaran” khas mereka: adu mulut, adu gengsi, dan perlahan—adu perasaan. Musuh bebuyutan versi kehidupan baru, dengan chemistry yang sama bandelnya.

Yuusha-kei ni Shosu Umumkan Cast Tambahan & Staf, Trailer 2 Dirilis — Tayang Januari 2026

0

Situs resmi Yuusha-kei ni Shosu: Choubatsu Yuusha 9004-tai Keimu Kiroku (Sentenced to Be a Hero: The Prison Records of Penal Hero Unit 9004) merilis trailer kedua sekaligus mengumumkan dua pengisi suara baru dan jajaran staf lanjutan. Adaptasi dari novel aksi fantasi karya Shoukai Rocket ini dijadwalkan tayang pada Januari 2026.

Cast Tambahan

  • Shouya Chiba sebagai Jayce Partiract
  • Youko Hikasa sebagai Neely

Staff

  • Director: Hiroyuki Takashima (Studio Kai)
  • Assistant Director: Yoshitake Nakakouji
  • Series Composition & Script: Kenta Ihara
  • Character Design: Takeru Noda
  • Music: Shunsuke Takizawa
  • Art Director: Yuusuke Watanabe
  • Color Design: Hiroko Umezaki
  • Director of Photography: Yoshihiro Sekiya
  • 3DCG: ENGI
  • 2D Graphics: Tosaka Marina
  • Editing: Rina Oguchi
  • Effects Design: Fumiaki Kouta
  • Main Animation: Kouta Sugawa, Kouki Shikiji, Hayato Kurosaki, Wataru Hirabayashi, Ryuuken Toida
  • Sound Director: Yuuichi Morita
  • Sound Production: Bit grooove promotion
  • Animation Producer: Masashi Masuo

Tentang Karya & Rilis Cetak

Rocket mulai menulis novel di Kakuyomu pada Oktober 2020. Kadokawa menerbitkannya di label Dengeki no Shinbungei dengan ilustrasi Mephisto sejak September 2021; volume ke-7 terbit pada Januari 17.
Adaptasi manga oleh Natsumi Inoue berjalan di Dengeki Comic Regulus sejak Maret 2022; volume ke-2 terbit April 2024.

Untuk rilis global: Yen Press melisensikan novel berbahasa Inggris (volume ke-4 rilis Mei 20; volume ke-5 dijadwalkan Desember 9). Kadokawa juga merilis manga versi Inggris di BookWalker Global.

Trailer 2