Anime News Plus – Kabar duka datang dari industri Anime dan Manga, dimana Mangaka terkenal dari seri Dragon Ball yakni Akira Toriyama, tutup usia pada umur 68 Tahun. Penyebab meninggalnya Bapak Shonen Dunia ini disebabkan oleh penyakit Hematoma Subdural yang dideritanya. Hal ini disampaikan langsung oleh Bird Studio selaku Produser dari Akira Toriyama.
Karir
Karir Akira Toriyama dimulai dari karya pertamanya yakni Dr. Slump, yang terbit perdana pada Februari 1980 dan menginspirasi 2 seri TV-Anime dan beberapa Movie. Kemudian, karya selanjutnya adalah Dragon Ball yang terbit perdana pada November 1984 sampai dengan Mei 1995. Manga ini begitu terkenal dan mendapatkan adaptasi Anime maupun Spin-off sampai hari ini.
Sebagai Inspirasi
Kepergian Akira Toriyama membuat kesedihan mendalam bagi para artis yang berkecimpung dalam dunia Manga dan Anime. Salah duanya adalah Eichiiro Oda selaku Mangaka dari One Piece dan Masashi Kishimoto selaku Mangaka Naruto. Mereka memberikan pesan mendalam kepada Mangaka Legendaris tersebut karena karya beliau menjadi Inspirasi kisah pembuatan Manga mereka.
Terima kasih banyak atas karyamu Akira Toriyama Sensei, karyamu menjadi inspirasi banyak Mangaka hingga saat ini.
Anime News Plus – Anime MAYONAKA PUNCH memperkenalkan para pemeran beserta cast mereka. Anime ini dijadwalkan akan tayang pada Juli 2024 oleh studio P.A. Works.
Video Perkenalan Karakter
Masaki (CV: Hisumi Kasegawa)
Live (CV: Ai Fairouz)
Ichiko (CV: Yuina Ito)
Fu (CV: Hina Yomiya)
Tokage (CV: Hitomi Ueda)
Yuki (CV: Ai Kayano)
Staff Utama
Berikut adalah jajaran staff utama untuk Anime Mayonaka Punch
Director: Shu Honma
Series Composition: Hideaki Shirasaka
Original Character Design: Tsukasa Kotobuki
Character Design: Ryota Arima
Sinopsis
Berpusat pada Masaki, seorang anggota grup NewTuber “Harakiri Sisters”, yang dipecat karena suatu insiden tertentu. Bertujuan untuk kembali, Masaki bertemu dengan Live. Kedua gadis ini memiliki tujuan yang berbeda, tetapi bersama-sama, mereka melakukan comeback yang menegangkan dan bertujuan untuk mencapai 1 juta pelanggan di NewTube.
Kembalinya Doomguy, Tapi Lebih Kuno dan Lebih Brutal
Setelah penantian panjang, DOOM: The Dark Ages akhirnya tiba, menghadirkan pengalaman baru yang mengguncang bagi para penggemar FPS. Tapi kali ini, alih-alih setting futuristik penuh teknologi seperti seri sebelumnya, id Software justru membawamu ke dunia gelap dengan nuansa abad pertengahan yang unik. Aku memainkan game ini sejak 1 Juni hingga tamat pada 29 Juni 2025, dengan total waktu bermain sekitar 21 jam—termasuk eksperimen grafis ray tracing dan streaming yang sedikit mengganggu fokus.
Sebagai orang yang belum pernah menyentuh seri DOOM sebelumnya, pengalaman ini benar-benar jadi pembuka mata. The Dark Ages bukan hanya prekuel dari DOOM (2016), tapi juga sukses membangun ulang citra Doomguy dalam gaya yang lebih epik, lebih brutal, dan lebih sinematik.
Tabel Konten Artikel Review DOOM: The Dark Ages
Review DOOM: The Dark Ages
Silakan lihat ulasan dalam format narasi video di bawah ini, atau klik di sini untuk menontonnya.
Gameplay DOOM: The Dark Ages
Gameplay yang Seimbang, Cepat, dan Tetap Brutal
Sistem Kombat yang Fresh untuk Pemain Baru
Meskipun ini DOOM pertamaku, aku langsung klik dengan sistem kombatnya. Di tingkat kesulitan “Hurt Me Plenty” (tingkat kedua dari enam), game ini memberikan keseimbangan antara tantangan dan aksesibilitas. Kombat cepat, responsif, dan sangat adiktif. Timing adalah kunci, apalagi saat melawan musuh yang datang bergelombang tanpa ampun.
Setiap senjata di game ini punya karakter unik. Ini senjata – senjata kesuakaan Aku. Ada Super Shotgun jadi favorit utamaku karena damage-nya brutal dalam jarak dekat. Sebelum dapat Super Shotgun, aku sempat terpikat sama Combat Shotgun, terus Shredder (versi SMG dengan bentuk crossbow otomatis), dan Accelerator yang punya efek ledakan di level akhir. Ada juga Rocket Launcher dengan upgrade menyerap darah musuh—efektif dan satisfying. Untuk melee, Dreadmace adalah juaranya. Aku suka menyebutnya “senjata pentungan Majapahit”, karena setiap pukulan terasa powerful dan menyenangkan.
Sayangnya, ada dua senjata yang paling jarang aku gunakan yaitu: Chainshot dan Grenade Launcher. Bukan karena lemah, tapi feel penggunaannya agak kurang memuaskan.
Level Desain, Musuh, dan Pacing yang Ketat
Desain level mulai terasa sangat menarik dari Chapter 15 ke atas hingga akhir di Chapter 22. Pacing-nya cepat—kamu nggak bakal dikasih napas sampai semua musuh di ruangan musnah. Kombinasi arena tertutup dan gelombang musuh membuat setiap pertempuran seperti tarian kematian yang brutal dan cepat.
Musuh juga cukup bervariasi dan memaksa kamu mikir cepat. Ada “Cacodemon Hybrid” yang bisa terbang, “Agaddon Hunter” dengan shield menjengkelkan, “Revenant” yang tembus pandang, hingga “Cyberdemon” dan “Cosmic Baron” yang brutal. Yang paling ngeselin mungkin “Acolyte”, penyihir pelari cepat yang harus dibunuh lewat clone-nya dulu. Tantangannya tetap terasa bahkan di mode normal—nggak kebayang di mode lebih tinggi.
Cerita yang Lambat di Awal, Tapi Bikin Ketagihan di Akhir
Satu hal yang sedikit mengganggu di awal adalah penyampaian cerita yang agak kabur. Game dimulai dengan situasi chaos, Doomguy langsung menuju medan perang, dan juga ada kesan seperti sedang dikendalikan. Tapi setelah mencapai Chapter 10 keatas, ceritanya mulai membentuk arah yang jelas. Fokus balas dendam setelah Doomguy dibunuh oleh Ahzrak jadi titik balik cerita yang bikin emosional. Bahkan aku dapat achievement “Too Angry to Die”—sebuah penutup yang pas untuk perjalanan berdarah ini.
Salah satu momen paling epik adalah saat naga Doomguy mati untuk melindunginya. Dari situ, nuansa balas dendam ke para demons makin kental.
Visual, Suara, dan Atmosfer yang Selaras
Secara teknis, grafis The Dark Ages bukan yang paling mewah, tapi sangat pas untuk atmosfer gelap dan penuh peperangan. Dengan ray tracing aktif, game terlihat lebih cerah dan kaya warna, meskipun art direction-nya memang dirancang untuk dunia yang suram. Dunia ini terasa seperti kerajaan abad pertengahan yang dijejali teknologi futuristik—kombinasi yang aneh tapi somehow masuk akal.
Soundtrack punk-rock dan efek suara yang menghentak benar-benar mendukung intensitas gameplay. Cutscene dan animasi pun dikerjakan dengan baik, memberikan nuansa sinematik tanpa mengurangi kesan “DOOM” yang brutal.
Performa & Optimisasi di PC Modern
Sebagai gamer PC, aku selalu penasaran seberapa optimal sebuah game modern berjalan di hardware kekinian apalagi aku baru pakai GPU baru yaitu 5070 Ti—dan DOOM: The Dark Ages termasuk salah satu game yang mendorong performa secara ekstrem. Aku memainkan game ini di resolusi 1440p dengan pengaturan grafis rata kanan dan fitur Frame Generation (FG) aktif sebanyak 4x.
Tanpa ray tracing, game ini melaju mulus di atas 250 fps menggunakan preset DLSS DLAA, yang sangat ideal untuk gameplay super cepat khas DOOM. Namun saat ray tracing diaktifkan, performa menjadi lebih bervariasi tergantung preset DLSS yang digunakan:
DLSS DLAA: 20–50 fps (rata-rata 25 fps)
DLSS Quality: 30–70 fps (rata-rata 40 fps)
DLSS Balance: 50–80 fps (rata-rata 50 fps)
DLSS Performance: 60–120 fps (rata-rata 65 fps)
DLSS Ultra Performance: tidak bisa dinilai akurat karena terjadi bug fatal—saat aku coba karakter utama diam tak bergerak, tapi kemungkinan FPS bisa mencapai 90–150 fps jika bug tersebut diperbaiki.
Secara teknis, game DOOM: The Dark Ages sangat stabil untuk dimainkan dalam kondisi normal. Selama campaign, aku tidak menemukan bug atau crash besar yang mengganggu gameplay. Namun, saat merekam gameplay—khususnya di adegan pertempuran intens—aku menemukan adanya stuttering dalam hasil video, kemungkinan karena tekanan berat dari kombinasi ray tracing dan efek partikel di layar yang sangat aktif. Meskipun tidak mempengaruhi gameplay secara langsung, ini bisa jadi catatan bagi content creator yang ingin merekam footage berkualitas tinggi sambil main.
Secara keseluruhan, optimisasi game ini tergolong solid untuk hardware high-end modern. Tapi jelas, penggunaan ray tracing butuh pertimbangan ekstra, terutama untuk pengguna yang ingin bermain sambil record atau streaming. Untungnya, tanpa ray tracing pun, visual tetap impresif dan gameplay tetap terasa maksimal.
Secara pribadi, aku lebih memilih bermain tanpa menggunakan fitur ray tracing. Alasannya, fps-nya kurang stabil di atas 60, sementara bagi aku, game ini memerlukan latency serendah mungkin agar responsif. Selain itu, jika ray tracing diaktifkan, apalagi dengan frame generation, visualnya justru tampak seperti slow motion. Di sisi lain, tampilan visual game ini juga bukan menjadi daya tarik utama atau sesuatu yang istimewa. Dengan pertimbangan tersebut, aku merasa lebih nyaman memainkan game ini tanpa ray tracing demi pengalaman bermain yang optimal.
Replayability dan Harga: Apakah Layak Beli?
Kalau kamu bertanya apakah game ini layak untuk dimainkan ulang, jawabannya: ya, sangat. Salah satu daya tarik utama dari DOOM: The Dark Ages adalah replayability-nya yang kuat. Game ini menyediakan pilihan tingkat kesulitan hingga enam level berbeda.
Secara resmi, game ini diklaim bisa ditamatkan dalam waktu sekitar 14 jam jika hanya fokus pada cerita utama tanpa eksplorasi. Tapi dari pengalamanku, dengan tambahan sesi eksperimen grafis ray tracing dan live streaming, waktu bermainku mencapai 21 jam, meskipun gameplay bersihnya sekitar 18–19 jam. Ini menunjukkan bahwa durasi game bisa fleksibel tergantung gaya bermain masing-masing.
Selain itu, game ini juga menyimpan potensi eksplorasi ulang: mulai dari menemukan collectible seperti gold, ruby, dan wraithstone, hingga mencoba ulang berbagai senjata dengan pendekatan yang berbeda. Fitur quick save dan sistem peta 3D sangat mendukung pengalaman eksploratif dan membuat proses replay tetap menarik, terutama bagi yang ingin menyempurnakan strategi dalam melawan demon yang lebih ganas.
Untuk harga, aku membeli versi standar dengan harga Rp1.000.000. Menurutku itu cukup sepadan dengan kualitas yang ditawarkan. Tapi kalau kamu belum familiar dengan seri DOOM, harga idealnya mungkin ada di kisaran Rp750.000. Tetap saja, dari sudut pandang gamer FPS, game ini masih layak dibeli full price, apalagi jika kamu menyukai tantangan, tempo cepat, dan atmosfer gelap yang kental.
Kesimpulan: DOOM yang Segar, Brutal, dan Layak Dinikmati
DOOM: The Dark Ages membuktikan bahwa formula klasik bisa dibawa ke arah yang lebih segar tanpa kehilangan identitas brutalnya. Meskipun ini adalah entri prekuel dan mengambil latar dunia yang lebih kuno, game ini tetap mempertahankan semangat khas DOOM—tembak cepat, lawan demon, dan jangan pernah berhenti bergerak.
Sebagai pendatang baru di franchise ini, aku benar-benar terkesan dengan bagaimana game ini memperkenalkan dunianya. Meskipun ceritanya terasa membingungkan di awal, narasinya berkembang kuat di pertengahan hingga akhir. Doomguy mungkin tetap karakter bisu, tapi setiap aksinya berbicara lebih keras dari kata-kata—terutama saat ia bangkit kembali dari kematian demi membalas dendam.
Gameplay adalah bintang utama di sini. Setiap senjata terasa punya bobot, setiap demon punya pola serangan unik, dan level-levelnya dirancang untuk memaksa pemain berpikir cepat sambil tetap agresif. Ditambah dengan soundtrack metal yang menghentak dan atmosfer yang mendukung, The Dark Ages menghadirkan pengalaman FPS yang imersif, memacu adrenalin, dan benar-benar memuaskan.
Dari sisi teknis, performanya solid di PC modern, meskipun penggunaan ray tracing perlu pertimbangan khusus. Tapi dengan atau tanpa fitur tersebut, game ini tetap berjalan dengan baik dan memberikan pengalaman visual yang cukup menggugah.
Untuk gamer FPS, baik yang baru mencoba DOOM maupun yang sudah veteran, game ini menawarkan cukup banyak alasan untuk dicoba. Replayability-nya tinggi, durasinya fleksibel, dan sensasi kombatnya nyaris tak tertandingi di genre sejenis. Ini adalah jenis game yang setelah tamat, kamu langsung berpikir: “Gue harus coba mode lebih susahnya!”
Singkatnya, DOOM: The Dark Ages adalah paket lengkap: seru, menegangkan, dan penuh momen badass yang sulit dilupakan. Sebuah bukti bahwa bahkan setelah puluhan tahun, DOOM masih bisa berevolusi tanpa kehilangan jiwa liarnya.
Jika kamu pernah bertanya “Can it run Crysis?”, kamu pasti tahu reputasi seri ini. Di masanya, Crysis 3 adalah monster teknologi dan puncak dari trilogi FPS ikonik garapan Crytek. Kini, melalui versi Remastered, Prophet kembali dengan Nanosuit-nya di tahun 2025 — tapi apakah kehadirannya masih punya taring, atau hanya nostalgia berbalut resolusi tinggi?
Tabel Konten Artikel Review Crysis 3 Remastered
Review Game Crysis 3 RemasteredVersi Narasi Video
Jika kamu ingin review Crysis 3 Remastered versi video narasinya, kamu bisa lihat dibawah ini atau di sini.
Gameplay Crysis Remastered Series
Kembali ke New York dalam Balutan Teknologi Baru
Saya memainkan Crysis 3 Remastered pertama kali akhir 2024, dengan ekspektasi tinggi sebagai seseorang yang pernah menamatkan versi originalnya. Harapan saya sederhana: peningkatan visual modern, performa stabil, dan mungkin sedikit penyegaran cerita. Kenyataannya, sebagian harapan itu terwujud, tapi tidak semuanya berhasil memuaskan.
Remaster ini membawa pemain kembali ke reruntuhan New York yang kini telah diselimuti hutan tropis, dikuasai oleh korporasi CELL, dan tentu saja, Ceph — alien mematikan yang masih jadi ancaman. Prophet, kini hanya tersisa kesadarannya dalam tubuh Nanosuit, kembali ke garis depan untuk menyelesaikan satu misi terakhir.
Gameplay: Kombinasi Bebas Antara Predator dan Tank
Yang membuat Crysis selalu unik adalah fleksibilitas gaya bermain. Lewat Nanosuit, kamu bisa bermain diam-diam dengan Stealth Mode, atau menjadi monster lapis baja dengan Armor Mode. Transisi antar mode terasa halus, dan ini yang membuat pertempuran terasa dinamis.
Senjata paling mencolok jelas adalah Predator Bow, panah futuristik yang mematikan dan bisa digunakan dalam mode siluman tanpa membatalkan stealth. Saya pribadi hampir selalu mengandalkannya di tiap misi — terutama saat berburu musuh dari kejauhan dengan panah listrik atau peledak. Kombinasi senjata dan kemampuan membuat setiap pendekatan terasa personal.
Namun, AI musuh terasa stagnan walau udah pada versi Remastered. Mereka sering bereaksi aneh atau terlalu mudah dikalahkan. Level desain juga mulai terasa terbatas dibanding standar FPS modern yang lebih terbuka dan kompleks.
Senjata dan Upgrade: Variatif Tapi Tidak Revolusioner
Di Crysis 3 Remastered ini ada beberapa senjata favorit baru. Selain Predator Bow yang jadi andalan, senjata seperti Typhoon dan DSG-1 juga menawarkan gaya bertempur yang seru. Typhoon adalah senapan dengan kecepatan tembak gila dan terlalu absurd, cocok untuk mengacak-acak posisi musuh dalam hitungan detik, sedangkan DSG-1 menawarkan presisi tinggi dalam jarak menengah dan cocok pertempuran Stealth.
Di sisi lain, fitur hacking menjadi elemen tambahan yang cukup menarik dalam Crysis 3. Kita bisa meretas turret musuh, drone, pintu otomatis, hingga perlengkapan milik Ceph, yang memberi sedikit keunggulan taktis saat menyusup atau bertahan. Walaupun implementasinya tidak terlalu mendalam, fitur ini menambah nuansa bahwa Nanosuit 3.0 benar-benar semakin canggih—seolah Prophet kini bisa melakukan hampir segalanya. Sayangnya, mekanisme hacking ini tetap terasa sebagai pelengkap, bukan inti dari gameplay.
Upgrade Nanosuit sendiri membuka berbagai modul untuk bertahan, menyerang, atau mendeteksi musuh. Namun, sebagian fitur terasa kurang signifikan. Fitur “Nano Vision” adalah contoh paling nyata. Alih-alih membantu di area gelap, visornya justru memberi tampilan yang membingungkan dan tidak praktis.
Saya pun masih heran mengapa fitur ini tetap dipertahankan hingga Crysis 3, bahkan pada versi Crysis 3 Remastered—karena, sejujurnya, tidak memberikan manfaat apa pun, bahkan dalam kondisi gelap sekalipun. Fungsi utamanya hanya efektif untuk mendeteksi alien yang dapat menghilang, tetapi di Crysis 3 musuh tersebut hanya muncul pada awal game dan itu hanya sebentar, sementara di Crysis 2 pun mereka baru hadir menjelang akhir cerita.
Dibandingkan dengan Night Vision di Crysis 1 yang jauh lebih berguna dan nyaman dipakai, Nano Vision di Crysis 3 justru lebih sering saya matikan ketimbang dipakai. Sebuah fitur yang terlihat canggih, tapi kehilangan fungsi praktisnya.
Cerita: Antara Penebusan dan Warisan
Crysis 3 ingin menjadi kisah penutup yang emosional. Prophet bukan lagi manusia utuh — ia adalah kesadaran dalam mesin yang masih menyimpan harapan untuk menyelamatkan dunia. Hubungannya dengan Psycho dan Claire memperlihatkan sisi manusianya yang rapuh, terutama saat masa lalu menghantuinya.
Beberapa momen emosional bekerja dengan baik. Tapi sebagian lainnya terasa terlalu cepat dan tidak diberi cukup waktu untuk berkembang. Contohnya, kemarahan Psycho kepada Claire terasa berlebihan, meski logis mengingat trauma masa lalunya.
Ending-nya sendiri memberi penutupan, tapi bukan klimaks yang membekas. Laurence Barnes atau sebutannya Prophets menyatu kembali dengan identitas di tubuh manusia bernama Alcatraz (nama kode militernya), tapi ancaman Ceph tetap menyisakan banyak tanda tanya. Dan dengan Crysis 4 yang masih belum jelas rilisnya, kesan “belum selesai” jadi terasa.
Visual & Audio: Naik Level, Tapi Tidak Lompat Zaman
Sebagai remaster, peningkatan visual memang ada — tekstur lebih tajam, pencahayaan ditingkatkan dengan ray tracing, dan efek partikel terasa lebih modern. Namun, dibanding game rilis 2024–2025, visual ini masih tertinggal. Beberapa bagian lingkungan terlihat luar biasa, tapi lainnya terasa datar.
Animasi wajah dan ekspresi karakter tidak diperbarui, membuat cutscene terasa kaku. Untungnya, desain dunia tetap mengesankan: reruntuhan kota yang ditelan alam memberi atmosfer yang unik.
Untuk audio, kualitas suara senjata, langkah, dan ambient sound mendukung gameplay. Musik latar cukup sinematik, tapi tidak ada soundtrack yang menonjol. Sayangnya, saya sempat menemui bug audio saat boss fight terakhir — musik klimaks menghilang, menyisakan suara tembakan saja. Momen klimaks yang seharusnya megah jadi terasa sunyi dan canggung.
Performa di PC Stabil
Saya memainkan game Crysis 3 Remastered di PC berspesifikasi Ryzen 7 5800X3D dan RTX 5070 Ti. Performa keseluruhan cukup stabil di 1440p dengan setting tertinggi dan ray tracing aktif.
Apakah Masih Layak Dimainkan di 2025?
Jawabannya: tergantung. Untuk pemain baru, Crysis 3 Remastered masih menyajikan pengalaman FPS dengan elemen stealth dan sci-fi yang jarang ditemukan. Gameplay-nya solid, dunianya menarik, dan Nanosuit tetap menyenangkan digunakan. Tapi untuk gamer veteran, kamu mungkin akan merasa bahwa ini hanya nostalgia visual tanpa peningkatan besar.
Sebagai remaster, Crysis 3 masih punya daya tarik — terutama saat diskon atau lebih bagus beli dalam bentuk bundle dalam pembelian Trilogi, alih – alih hanya membeli Crysis 3 Remastered saja.
Tapi jangan harapkan lompatan besar atau inovasi. Crysis 3 Remastered adalah bentuk penghormatan terhadap game legendaris, tapi bukan bentuk kelahiran ulangnya.
Anime The Angel Next Door Season 2 masih diproduksi oleh Project No.9, namun musim keduanya melibatkan beberapa staf baru di bidang kunci. Berikut daftar staf lengkap:
Sutradara Seni: Ryousuke Kawai(baru) (Otome Game Sekai wa Mob ni Kibishii Sekai desu)
Sinematografi: Tomoya Kamijou (Senpai wa Otokonoko)
Editing: Akinori Mishima(baru) (Shigatsu wa Kimi no Uso)
Musik: Moe Hyuga (Araburu Kisetsu no Otome-domo yo.)
Cuplikan Teaser Perdana
Teaser perdana anime The Angel Next Door Season 2 telah dirilis dan menampilkan cuplikan suasana romantis khas antara Mahiru dan Amane, disertai peningkatan kualitas visual dari musim sebelumnya. Video ini juga mengungkap dinamika baru yang akan hadir pada musim kedua nanti.
Otonari no Tenshi-sama ni Itsunomanika Dame Ningen ni Sareteita Ken Season 2 (The Angel Next Door Spoils Me Rotten Season 2) – Visual Web 2
Sekilas Tentang Seri Light Novel dan Manga
Serial ini merupakan adaptasi dari light novel karya Saeki-san, yang pertama kali diterbitkan di situs Shousetsuka ni Narou pada Desember 2018. GA Bunko dari SB Creative merilis volume pertamanya pada Juni 2019, dengan ilustrasi awal oleh Hazano Kazutake yang kemudian digantikan oleh Hanekoto mulai volume kedua.
Statistik dan Perilisan Terbaru
Total Volume: 11 volume utama + 11.5 (yang akan dirilis 13 September 2025)
Jumlah Cetak: Lebih dari 2,5 juta kopi
Adaptasi Manga: Oleh Wan Shibata dan Suzu Yuuki, dimuat di Manga UP! sejak Januari 2022
Volume Manga Terkini: Volume ke-5, dirilis pada 7 Maret 2025
Perilisan Global
Versi Bahasa Inggris
Light Novel: Dilisensi oleh Yen Press sejak Juli 2020
Volume terbaru (8.5) dirilis pada 20 Mei 2025
Manga: Diterbitkan oleh Square Enix melalui Manga UP! versi global
Volume ke-4 dijadwalkan rilis pada 7 Oktober 2025
Versi Bahasa Indonesia
Light Novel: Dilisensi oleh Phoenix Gramedia Indonesia sejak Juli 2024
Volume terbaru (1) dirilis pada 18 Desember 2024
Teaser PV Resmi
Sinopsis Cerita
Berikut di bawah ini adalah sinopsis cerita keseluruhan seri termasuk dari The Angel Next Door Season 2 (Otonari no Tenshi-sama Season 2);
Fujimiya Amane, seorang siswa SMA tahun pertama, mulai hidup sendiri setelah masuk sekolah lanjutan.
Di unit apartemen sebelahnya, tinggal gadis tercantik di sekolah—Shiina Mahiru.
Meski awalnya tidak saling terlibat, hubungan keduanya mulai berubah ketika Amane meminjamkan payung kepada Mahiru yang basah kuyup kehujanan.
Melihat gaya hidup Amane yang berantakan, Mahiru mulai memasakkan makanan, membersihkan kamarnya, dan sering kali mengurus keperluan sehari-harinya.
Tinggal berdampingan, keduanya perlahan mulai saling membuka hati satu sama lain.
Inilah kisah cinta manis dan menggemaskan yang berkembang di antara dua tetangga—penuh kehangatan dan rasa yang bikin gemas.
Developer Astrolabe® Interactive dan publisher Funcom secara resmi merilis pembaruan besar kedua untuk game survival kooperatif penuh nuansa santai mereka, Aloft, dengan judul “Puzzles & Pyrologics”. Update ini hadir bersamaan dengan diskon 20% di Steam hingga 10 Juli 2025.
Tabel Konten Artikel
Tonton Trailer Resmi Puzzles & Pyrologics
Tonton trailer game ini di sini.
Desain Puzzle Sendiri & Pecahkan Tantangan di Langit
Update ini memperkenalkan fitur Pyrologics, sistem desain puzzle internal yang memungkinkan pemain membuat puzzle dan mekanisme buatan sendiri. Pemain kini bisa merakit puzzle dari:
Trapdoor, dinding berputar, pelat tekanan, tuas, timer, dan berbagai komponen lainnya
Semua dirancang melalui Pyrologic Board, sistem logika visual seperti papan rangkaian
Puzzle buatan pemain bisa ditempatkan di pulau pribadi, atau disebarkan di Wonder Islands, pulau besar dengan desain buatan tangan dan narasi unik di dalamnya.
Tambahan Baru: Emberstone & Komponen Bangunan Baru
Update ini juga menghadirkan sumber daya baru bernama Emberstone, yang digunakan untuk merakit puzzle dan teknologi Pyrologics.
Selain itu, ada penambahan fitur yang sangat diminta oleh komunitas:
Tali elastis yang bisa diregangkan
Komponen bangunan berbentuk segitiga sama sisi
Kincir angin vertikal yang menangkap angin dari segala arah
Kualitas Hidup & Sistem Komunitas Diperluas
Update ini juga membawa peningkatan pada:
Animasi pertarungan dan penyesuaian musuh berdasarkan tingkat kesulitan
Pilihan mode kesulitan baru, dari santai hingga hardcore
Pulau buatan komunitas dari kompetisi Island Creator di Discord kini tersedia langsung dalam game
Teaser untuk Update Masa Depan
Astrolabe Interactive juga membagikan beberapa highlight untuk pembaruan masa depan yang sedang dikembangkan:
Sistem world generation baru
Upgrade layar kapal dan jalur angin
Revamp sistem progresi
Pohon kehidupan dan pemulihan ekosistem
Tier musuh dan korupsi baru
Senjata, alat, dan dekorasi tambahan
Sistem hadiah dan kustomisasi karakter
Tentang Aloft
Aloft adalah game survival sandbox berbasis pulau langit, dengan fokus pada eksplorasi, membangun, dan kolaborasi kreatif antar pemain. Game ini terus tumbuh lewat masukan komunitas, menjadikannya salah satu proyek paling dinamis di genre cozy survival saat ini.
Jangan lewatkan diskon 20% hingga 10 Juli 2025 di Steam!
Frontier Works Inc. mengumumkan keikutsertaannya dalam ajang Anime Expo 2025 di Los Angeles, AS, dari 3 hingga 6 Juli. Untuk merayakan partisipasi ini, mereka meluncurkan dua varian skateboard deck edisi terbatas “Identity V” yang bisa dipesan secara made-to-order eksklusif di luar Jepang melalui situs Animate International.
Tabel Konten Artikel
ID5 skateboard decks
Periode Pre-Order: 6 Juni 2025 pukul 03:00 PDT – 28 Juli 2025 pukul 07:59 PDT
❗️Produk ini tidak dijual di Tiongkok Daratan, Australia, Selandia Baru, dan Jepang.
Booth Frontier Works: Voting Interaktif & Hadiah Langsung
📍 Booth SH-504 (animate GROUP, South Hall) Booth Frontier Works akan memamerkan ilustrasi ikonik dari game Identity V, lengkap dengan sudut foto interaktif dan pameran eksklusif karya ilustrasi selama lima tahun terakhir.
ID5 Giveaway
Pengunjung juga bisa mengikuti proyek voting langsung untuk memilih ilustrasi favorit mereka. Partisipan akan langsung mendapatkan art print ukuran A4 sebagai hadiah khusus. 🎁 Selama persediaan masih ada.
ID5 booth wall-aID5 booth wall-b
Dinding Ilustrasi Raksasa: Tempat Wajib Foto!
Salah satu daya tarik booth ini adalah ilustrasi besar “Identity V” yang dipajang di dinding area pameran. Pengunjung bisa berfoto langsung di depan karya seni ini, menjadikannya spot sempurna untuk mengabadikan momen di AX 2025.
Merchandise Jepang Populer Hadir Pertama Kali di AS
Penggemar Identity V juga bisa membeli berbagai produk merchandise resmi Frontier Works yang baru pertama kali tersedia di pasar Amerika:
Dark×POP Series
Art Collection Series
Fantasy Series
ID5 badgeID5 Fantasy
Merchandise ini tersedia eksklusif di sudut Frontier Works dalam booth animate GROUP — jangan lewatkan kesempatan terbatas ini!
Info Resmi Booth Frontier Works di Anime Expo 2025
🗓️ Tanggal: 3–6 Juli 2025 📍 Venue: Los Angeles Convention Center 🎪 Booth: animate GROUP – SH-504 (Frontier Works display inside)
Ilustrator ternama dunia Maniani, bersamaFrontier Works Inc., akan menghadirkan “Maniani World” secara perdana di ajang Anime Expo 2025 di Los Angeles, Amerika Serikat. Kolaborasi ini mempersembahkan konsep visual unik “Kowai (seram) + Kawaii (imut) = Kowaii (seram-imut)” yang telah menarik perhatian global di dunia seni karakter.
Tabel Konten Artikel
Booth Resmi “Maniani World” di AX 2025
Booth SH-4908 (South Hall) Di sini, pengunjung bisa menikmati world premiere dari beragam produk baru termasuk:
Shadow Cat Acrylic Stand (5 varian)
Hologram Can Badge (5 varian)
Acrylic Keychain (3 varian)
T-shirt Shadow Cat
Buku ilustrasi resmi
Dan masih banyak lagi!
Galeri Merchandise
1 dari 4
Shadow Cat Acrylic Keychain
Shadow Cat Acrylic Keychain
Shadow Cat Acrylic Stand
Shadow Cat Acrylic Stand
Shadow Cat Hologram Can Badge
Shadow Cat Hologram Can Badge
Shadow Cat T-shirt
Shadow Cat T-shirt
Skateboard Eksklusif Bisa Dipesan Online
Selain merchandise reguler, Frontier Works juga meluncurkan skateboard deck edisi terbatas “Maniani World”, yang hanya bisa dipesan melalui situs Animate International.
Maniani World Skateboard Deck
🛹 Pre-order dibuka: 6 Juni 2025 pukul 03:00 PDT – 28 Juli 2025 pukul 07:59 PDT 🔗 Halaman produk skateboard
❗️Produk ini tidak dijual di Jepang, Australia, atau Selandia Baru. Pengunjung bisa melihat langsung skateboard-nya di booth sebelum melakukan pre-order.
Talk Show Eksklusif: Rahasia Visual “Kowaii”
Panel Title:The Visual Expressions Hidden in the Characters of Maniani World
Tanggal/Waktu: 3 Juli 2025, 17:15 – 18:05
Panel Room: 402AB
Yuka Mochizuki
Acara ini menghadirkan Yuka Mochizuki, Creative Director dari Frontier Works, yang akan membahas rahasia di balik visual khas monster-manis ala Maniani. Panel ini akan mengulas proses kreatif, inspirasi karakter, hingga dampaknya di ranah internasional.
Kolaborasi dengan animate GROUP (Booth SH-504)
Kunjungi booth animate GROUP untuk mendapatkan kartu edisi khusus Maniani World bergaya tiket. Bawa kartu tersebut ke booth Maniani untuk menukar dengan hadiah spesial eksklusif Anime Expo 2025.
Giveaway
Tersedia dalam jumlah terbatas per hari (first come, first served).
Tentang “Maniani World”
Maniani World adalah semesta karakter dan ilustrasi buatan Maniani, yang dikenal lewat gaya “Kowaii”: menggabungkan unsur horor yang lembut dengan desain menggemaskan. Dunia ini penuh dengan monster imut tapi misterius, dan telah mencuri perhatian lebih dari 150.000 followers di X serta komunitas global penggemar seni karakter.
King Records kembali hadir di Anime Expo 2025 yang digelar di Los Angeles dengan dua penayangan spesial sekaligus:
HYPNOSISMIC -Division Rap Battle- Movie
Utano☆Princesama TABOO NIGHT XXXX
Keduanya akan ditayangkan dalam versi spesial Anime Expo (AX Edition), dan diikuti oleh event interaktif serta hadiah menarik bagi para pengunjung.
Tabel Konten Artikel
HYPNOSISMIC: Film Interaktif Anime Pertama di Jepang
HYPNOSISMIC – Visual Key
HYPNOSISMIC -Division Rap Battle- Movie membawa pengalaman sinema ke level baru sebagai film anime interaktif pertama dari Jepang.
Penonton akan menggunakan CtrlMovie App untuk memberikan suara pada setiap pertarungan, menentukan divisi mana yang menang dan lanjut ke ronde berikutnya — hasilnya bisa berbeda di setiap penayangan!
📲 Download CtrlMovie App sekarang dan siap voting:
UTA☆PRI TABOO NIGHT XXXX: Chapter Baru untuk QUARTET NIGHT
Utapri – Visual Key
Utano☆Princesama TABOO NIGHT XXXX adalah film ketiga dalam seri teater UTA☆PRI setelah KINGDOM dan ST☆RISH TOURS. Kali ini, spotlight diberikan kepada grup QUARTET NIGHT dengan cerita dan tema baru yang lebih berani. Para penggemar UTA☆PRI tak boleh melewatkan babak baru ini!
Jadwal Penayangan Spesial
Screening Time AX 2025:
3 Juli | 17:45–19:45 | Room 403AB
4 Juli | 14:30–16:30 | Room 403AB
5 Juli | 12:30–14:30 | The Novo
Booth King Records: Dapatkan Lanyard Kolaborasi
Kunjungi booth E-50 untuk melihat cuplikan spesial, display, dan kesempatan mendapatkan lanyard kolaborasi HYPNOSISMIC x UTA☆PRI. Cukup follow salah satu akun media sosial King Records — tersedia selama persediaan masih ada!
Merchandise Resmi di AX
T-shirt Eksklusif HYPNOSISMIC & UTA☆PRI tersedia di booth Great Eastern Entertainment #SH3320
Harga: $25/pcs atau 2 seharga $45 (belum termasuk pajak) Ayo pakai kaosnya saat nonton dan tunjukkan fandom-mu di venue!
Dune: Awakening, game survival MMO open-world besutan Funcom, resmi diluncurkan dan langsung mencetak rekor luar biasa. Dalam minggu pertama peluncurannya, game ini berhasil meraih lebih dari 189.000 pemain aktif serentak di Steam, melampaui rekor game Funcom sebelumnya, Conan Exiles, yang hanya mencapai 53.400 pemain.
Game ini juga dinobatkan sebagai rilisan tercepat terjual dalam sejarah Funcom, menjadikannya salah satu kejutan besar dalam genre survival tahun ini.
Rating Positif & Pujian dari Media Internasional
Sejak peluncuran, Dune: Awakening meraih respons luar biasa dari pemain dan media:
Steam: 85% Very Positive dari 28.700+ ulasan
Metacritic: Skor 80
OpenCritic: Skor 81
Situs review besar juga memberikan pujian tinggi:
VGMAG:8.5/10 – “Cara terbaik merasakan Arrakis.”
4Players:9/10 – “Tidak ada dunia game yang lebih Dune dari ini.”
IGN:8/10
Eurogamer:4/5, memuji gameplay survival-nya
Screenrant: “Saking serunya, saya sampai lupa makan.”
DualShockers:9/10 – “Ini akan jadi game yang diingat satu dekade mendatang.”
Trailer Baru Dune: Awakening Accolades
Faithful to Dune, Rich in Survival Gameplay
Dune: Awakening menampilkan dunia Arrakis dalam versi timeline alternatif — di mana Paul Atreides tidak pernah lahir — memungkinkan pengalaman baru yang tetap setia pada semesta asli karya Frank Herbert, sambil mengadaptasi elemen visual dari film blockbuster garapan Denis Villeneuve dan Legendary Entertainment.
Mulai dari eksplorasi gurun berbahaya, kontrol terhadap spice, hingga intrik antar faksi besar seperti Atreides dan Harkonnen, game ini menyajikan dunia yang hidup dan intens.
Ini Baru Awal: Season Pass dan Konten Tambahan
Peluncuran Dune: Awakening hanyalah awal dari perjalanan panjang. Tim Funcom telah menyiapkan:
Season Pass: Mencakup empat DLC pertama
Update Gratis: Cerita dan fitur baru akan ditambahkan secara berkala
Perbaikan Berkelanjutan: Berdasarkan feedback komunitas
Dune: Awakening tersedia sekarang di Steam, dan menjadi salah satu game survival dengan respons terbaik di tahun 2025.
Fatshark resmi mengumumkan DLC berbayar pertama untuk game co-op mereka, Warhammer 40,000: Darktide, yakni Arbites Class. Kelas baru ini akan dirilis pada 23 Juni 2025 untuk semua platform. Bersamaan dengan perilisan ini, pemain juga akan mendapatkan update gratis yang mencakup peningkatan sistem narasi dan perombakan sistem tingkat kesulitan.
Tabel Konten Artikel
Trailer Warhammer 40,000: Darktide – Arbites
Kamu Adalah Keadilan: Adeptus Arbites Hadir untuk Menindak Tanpa Ampun
Arbites dikenal sebagai penegak hukum paling ditakuti di Imperium. Tugas mereka bukan melindungi rakyat, tapi memastikan Lex Imperialis dijalankan demi kestabilan dan kelangsungan kekuasaan.
Pemain akan berperan sebagai Arbitrator, lengkap dengan senjata penindas, armor carapace ikonik, dan rekan setia berupa Cyber-Mastiff — anjing pemburu hasil rekayasa sibernetik yang akan memburu musuh hingga titik darah penghabisan.
Galeri
Galeri Eksklusif DLC Arbites
1 dari 3
Arbites Storefront - Gambar 1
Arbites Storefront - Gambar 2
Arbites Storefront - Gambar 2
Fitur Utama DLC Arbites Class
Cyber-Mastiff: Unit anjing tempur sibernetik yang bisa dikustomisasi dan diperintah untuk menyerang target prioritas. Bisa kamu beri nama, ganti pola bulu, dan ya… kamu bisa mengelusnya juga.
Nuncio Aquila: Platform vox anti-gravitasi yang memperkuat perintahmu, meningkatkan damage pada musuh sekitar, serta memulihkan ketahanan tim.
Arbites Shotgun, Shock Maul, Riot Shield: Kombinasi senjata jarak dekat dan jarak jauh dengan efek listrik dan kontrol area.
Blitz Skills: Termasuk granat khusus, ranjau kejut (shock mine), hingga ledakan dari lokasi Cyber-Mastiff untuk crowd control.
Tiga Gaya Bertarung & 80+ Node Talent
Pemain bisa membentuk Arbitrator unik melalui talent tree bercabang dengan lebih dari 80 node. Tersedia tiga gaya bertarung utama:
Castigator’s Stance: Meningkatkan mobilitas dan mengurangi damage.
Break the Line: Charge dengan tameng, menyebabkan stagger.
Commanding Presence: Mengendalikan medan tempur lewat suppression dan buff.
Deluxe Edition & Harga DLC
DLC Arbites Class akan tersedia dalam dua versi:
Standard Edition: $11.99 atau sekitar Rp 195.000
Deluxe Edition: $18.99 atau sekitar Rp 309.442
Keduanya akan dirilis serentak pada 23 Juni, dan tersedia untuk wishlist mulai 8 Juni.
Goddess of Victory: NIKKE, game sci-fi shooter F2P buatan SHIFT UP dan dipublikasikan oleh Level Infinite, secara resmi mengumumkan kolaborasi barunya bersama Stellar Blade. Trailer animasi perdana telah dirilis, menandai dimulainya event spesial yang mempertemukan dua dunia post-apocalyptic paling stylish di industri game mobile dan konsol.
Tabel Konten Artikel
Video Dialog Eksklusif Bersama Tiga Kreator Besar
Bersamaan dengan kolaborasi ini, dirilis juga video spesial berjudul Creative Dialogue, yang mempertemukan para nama besar industri kreatif Jepang dan Korea:
Kim Hyung-Tae – Sutradara Stellar Blade
Yoo Hyung-Suk – Sutradara NIKKE
Yoko Taro – Sutradara NieR Series
Yosuke Saito – Produser NieR Series
Shuhei Yoshida – Tokoh penting dalam dunia PlayStation
Galeri Eksklusif
1 dari 5
Foto Bersama Kim Hyung-Tae, Yoo Hyung-Suk,Yoko Taro, Yosuke Saito, dan Shuhei Yoshida - Gambar 1 - Anime News Plus - Prima Channel
Foto Bersama Kim Hyung-Tae, Yoo Hyung-Suk,Yoko Taro, Yosuke Saito, dan Shuhei Yoshida - Gambar 2 - Anime News Plus - Prima Channel
Foto Bersama Kim Hyung-Tae, Yoo Hyung-Suk,Yoko Taro, Yosuke Saito, dan Shuhei Yoshida - Gambar 3 - Anime News Plus - Prima Channel
Foto Bersama Kim Hyung-Tae, Yoo Hyung-Suk,Yoko Taro, Yosuke Saito, dan Shuhei Yoshida - Gambar 4 - Anime News Plus - Prima Channel
Foto Bersama Kim Hyung-Tae, Yoo Hyung-Suk,Yoko Taro, Yosuke Saito, dan Shuhei Yoshida - Gambar 5 - Anime News Plus - Prima Channel
Trailer Crossover NIKKE dan Stellar Blade
Detail Kolaborasi: Apa yang Bisa Diharapkan Pemain?
Kolaborasi antara NIKKE dan Stellar Blade ini diperkirakan akan menghadirkan:
Karakter crossover baru
Cerita eksklusif dalam event kolaboratif
Animasi sinematik dan misi bertema khusus
Bonus login dan hadiah terbatas waktu
Meskipun detail kontennya belum diungkap sepenuhnya, antusiasme pemain melonjak karena ini pertama kalinya dua IP buatan studio SHIFT UP disatukan secara resmi.
NieR:Automata Collaboration Kembali Hadir 3 Juli!
Sebagai kejutan tambahan, kolaborasi NIKKE x NieR:Automata juga diumumkan akan rerun mulai 3 Juli 2025. Pemain yang sebelumnya melewatkan event ini bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk merekrut karakter seperti 2B, A2, dan Pascal, lengkap dengan senjata serta event misi bertema dunia NieR.
Event kolaborasi ini sudah dimulai hari ini dan tersedia untuk semua pemain di platform PC dan mobile. Jangan lewatkan kesempatan untuk menjelajahi semesta baru bersama karakter favorit dari Stellar Blade dan NieR!
Sharkmob, studio di balik Vampire: The Masquerade – Bloodhunt, kembali dengan proyek ambisius bertajuk Exoborne. Game ini mengusung genre tactical open-world extraction shooter berlatar dunia yang hancur karena bencana lingkungan ekstrem.
Dalam Exoborne, pemain akan masuk ke Colton County, wilayah brutal yang dihantam kekuatan alam dan ambisi korporasi. Dunia ini tidak hanya menjadi arena tempur, tapi juga musuh itu sendiri — penuh dengan badai, bahaya lingkungan, dan lawan bersenjata.
Exoborne Hero Action – Logo
Tabel Konten Artikel
Playtest Global Pertama Sukses Digelar
Tim pengembang dari Sharkmob mengumumkan bahwa mereka telah menyelesaikan sesi playtest berskala besar pertama. Playtest ini memperkenalkan pemain pada intensitas pertempuran multiplayer taktis, dan sensasi menggunakan Exo-Rig, perlengkapan canggih yang memungkinkan mobilitas tinggi dan strategi dinamis. Diskusi developer lihat disini.
“Playtest ini membantu kami memahami bagaimana pemain memanfaatkan kekuatan Exo-Rig, dan bagaimana elemen alam menjadi bagian aktif dari gameplay,”
tulis Sharkmob dalam pembaruan terbarunya.
Sinopsis Dunia: Manusia Vs Rebirth Corporation
Kisah Exoborne berpusat pada Rebirth Corporation, entitas misterius yang hampir memusnahkan umat manusia. Kini, yang tersisa hanyalah kelompok bernama Reborn — termasuk kamu — yang berjuang mengungkap kebenaran dan melawan para pengkhianat di antara mereka.
Exoborne Action – Logo
Tersedia di Konsol dan PC Generasi Baru
Exoborne direncanakan rilis di:
PC (via Steam)
PlayStation 5
Xbox Series X|S
Game ini akan menggunakan model premium, dengan konten tambahan melalui sistem live service dan update rutin. Belum ada tanggal rilis resmi, namun lebih banyak detail akan diungkap dalam bulan-bulan mendatang.
Video Gameplay Exoborne Terbaru — Masih Tahap Pengembangan
Exoborne menampilkan cuplikan gameplay pre-alpha dalam presentasinya di Summer Game Fest 2025. Meskipun masih dalam tahap awal, visual dan dinamika pertarungan sudah menunjukkan potensi sebagai salah satu extraction shooter paling ambisius di generasi ini.
Techland secara resmi mengumumkan Dying Light: The Beast, game survival horror generasi baru yang membawa pengalaman parkour brutal, pertarungan jarak dekat intens, dan atmosfer horor khas waralaba ke level selanjutnya.
Game ini ditampilkan secara live dalam ajang Summer Game Fest 2025 oleh Geoff Keighley dan langsung menarik perhatian lewat trailer gameplay perdananya.
Dying Light The Beast Key Visual ENG – Anime News Plus – Prima Channel
“Dying Light: The Beast adalah hasil dari satu dekade pengalaman kami di genre survival horror,” ujar pihak Techland dalam pernyataan resminya.
Tabel Konten Artikel
Rilis Global pada 22 Agustus 2025
Dying Light: The Beast dijadwalkan rilis secara global pada 22 Agustus 2025 untuk platform:
PC
PlayStation 5 Pro
PlayStation 5
Xbox Series X|S
Para pemain dapat melakukan pre-order sekarang untuk mendapatkan bonus eksklusif berupa Hero of Harran Bundle, yang berisi item kosmetik spesial bertema karakter legendaris dari game sebelumnya.
Hero of Harran Bundle: Hadiah Eksklusif Pre-order
Hero of Harran Pre-order Bundle Key VisualHero of Harran Pre-order Bundle Beautyshot
Paket bonus ini termasuk:
Kostum bertema Harran Survivor
Skin senjata klasik dengan efek visual khas
Animasi parkour ikonik
Pemain yang melakukan pre-order akan otomatis menerima bundle ini saat game dirilis.
Trailer Gameplay dan Versi Extended
Techland tidak hanya membagikan trailer utama berdurasi pendek, namun juga merilis versi extended berdurasi 30 menit yang memperlihatkan secara mendalam atmosfer, pertarungan, dan sistem dunia terbuka dalam game.
Tonton trailer resmi dan gameplay extended di bawah ini:
Trailer Resmi Summer Game Fest
Versi Bahasa Inggris
Versi Bahasa Jepang
Versi Bahasa Tiongkok/China/Mandarin
Extended Gameplay Trailer (30 Menit)
Cuplikan & Trailer Sebelumnya
Untuk kamu yang ingin mengejar seluruh histori promosi gamenya, berikut beberapa trailer tambahan dari fase pengenalan sebelumnya:
Oslo, Norwegia – 6 Juni 2025 – Dune: Awakening, game survival multiplayer berskala besar dengan dunia terbuka yang terinspirasi dari semesta Dune, kini telah tersedia bagi semua pemain yang memiliki Edisi Deluxe atau Ultimate. Peluncuran penuh game ini akan dilakukan pada 10 Juni 2025, namun pemain sudah bisa melakukan pre-load sekarang juga di Steam, untuk semua edisi.
Bagi siapa saja yang melakukan pre-purchase edisi Deluxe atau Ultimate sebelum 10 Juni, bisa langsung terjun ke planet Arrakis dan memulai petualangan mereka lebih awal.
Tabel Konten Artikel
Versi Paralel Semesta Dune Hadir dalam Format Game Survival Open World
Dikembangkan oleh Funcom, Dune: Awakening menghadirkan realitas alternatif dari semesta Dune karya Frank Herbert, serta terinspirasi dari film-film sukses arahan Denis Villeneuve dan produksi Legendary Entertainment. Dalam versi ini, Paul Atreides tidak pernah lahir, membuka ruang bagi narasi baru yang belum pernah dijelajahi sebelumnya.
Trailer peluncuran perdana telah dipamerkan di ajang Summer Game Fest, menampilkan atmosfer dan visual yang mendalam dari dunia Arrakis. Kamu bisa menyaksikannya langsung melalui tautan berikut:
Trailer
Trailer Perilisan
Soundtrack Resmi Juga Telah Dirilis Secara Global
Tidak hanya gamenya, soundtrack resmi Dune: Awakening juga dirilis pada hari ini. Kamu bisa menikmatinya melalui platform seperti Spotify, Apple Music, dan Amazon Music di: 👉 https://duneawakening.lnk.to/soundtrack
OST ini terdiri dari musik latar sinematik termasuk dua lagu bonus dari Story Trailer dan Launch Trailer. Musiknya disusun oleh Knut Avenstroup Haugen, komposer pemenang penghargaan yang melakukan rekaman di studio legendaris AIR Lyndhurst di London.
“Menyusun musik untuk Dune: Awakening adalah perjalanan epik yang menantang dan menginspirasi,” ujar Haugen. “Aku ingin menciptakan skor yang merefleksikan misteri dan kemegahan Arrakis. Ini pengalaman luar biasa yang tak akan aku lupakan.”
Gameplay yang Masif: Dari Bertahan Hidup hingga Mengendalikan Spice
Dune: Awakening adalah game survival multiplayer open world pertama yang mengambil latar di planet Arrakis. Pemain akan menjelajahi padang pasir yang brutal bersama ratusan pemain lain di dunia yang dikuasai oleh matahari, badai pasir, dan cacing raksasa legendaris — sandworm.
Kamu akan memulai dari titik bertahan hidup, lalu naik ke level yang lebih tinggi dengan mengendalikan spice, sumber daya paling berharga di alam semesta Dune. Fraksi seperti Atreides dan Harkonnen bisa kamu pilih, dengan pengaruh yang berdampak ke seluruh dunia game, termasuk dalam konflik politik seperti Landsraad.
Komentar Resmi dari Pengembang dan Mitra Franchise
“Dengan Dune: Awakening, kami berusaha menciptakan ulang Arrakis seperti dalam buku dan film ke dalam bentuk video game,” kata Joel Bylos, Creative Director dari Funcom. “Kami sangat antusias melihat para pemain mulai menjelajah semua yang telah kami bangun.”
Sementara itu, Sam Rappaport, VP Digital dari Legendary Entertainment, menambahkan:
“Game ini benar-benar menangkap intensitas dan keajaiban Arrakis. Setiap keputusan bertahan hidup dan strategi memiliki dampak besar. Ini adalah evolusi penting dalam franchise Dune.”
Tanpa Mikrotransaksi, Hanya DLC dan Konten Gratis Pasca-Rilis
Dune: Awakening menggunakan model bisnis klasik berbasis DLC, tanpa sistem toko dalam game atau langganan. Setelah peluncuran, Funcom akan merilis konten tambahan gratis dan DLC lengkap. Untuk informasi peluncuran lengkap dan peta waktu rilis, kamu bisa membaca blog resmi Funcom.
Rilis 10 Juni 2025 – Peluncuran Resmi Global
Game ini sudah bisa dimainkan sekarang oleh pemilik Edisi Deluxe dan Ultimate. Untuk pemain lain yang ingin bergabung saat rilis penuh, jangan lupa lakukan pre-order dan pre-load sebelum tanggal 10 Juni!
Ghostrunner adalah game aksi orang pertama yang intens, cepat, dan brutal. Di tengah dunia pasca-apokaliptik penuh neon dan duka, kamu adalah seorang ninja sibernetik yang berjuang menaklukkan menara raksasa penuh jebakan dan musuh. Tapi ini bukan sekadar permainan aksi—Ghostrunner menuntut fokus tinggi, refleks secepat kilat, dan kesabaran tingkat dewa. Setelah menamatkan game ini, satu hal yang pasti: tidak semua gamer cocok untuk tantangan seperti ini.
Tabel Konten Artikel Review Ghostrunner
Review Ghostrunner Versi Narasi
Silakan tonton ulasan dalam bentuk video yang tersedia di bawah ini. Jika kamu lebih memilih untuk menonton daripada membaca, klik di sini untuk mengaksesnya.
Gameplay Ghostrunner
Gameplay: Mati Bukan Akhir, Tapi Proses
Setiap level dalam Ghostrunner menyuguhkan pengalaman parkour dan pertempuran pedang dalam sudut pandang orang pertama, dengan sistem one-hit kill—baik kamu maupun musuh. Hal ini membuat tiap gerakan harus presisi. Salah melangkah, salah waktu, dan kamu harus mengulang. Tapi di sinilah daya tarik game ini: belajar dari kesalahan, memperbaiki ritme, dan menyempurnakan strategi.
Salah satu skill yang paling kusuka adalah Surge, serangan energi jarak jauh yang dapat melumpuhkan musuh dalam satu garis lurus. Skill ini memberikan keleluasaan taktis tanpa kehilangan rasa tegang yang menjadi inti game ini.
Level Desain: Antara Frustrasi dan Kepuasan
Ghostrunner menghadirkan desain level yang sangat menantang, namun terasa adil. Setiap area menguji kemampuan navigasi dan adaptasi pemain. Level Inward and Upward, misalnya, membuatku mati lebih dari 100 kali. Tapi begitu berhasil melewati rintangan itu, ada rasa kepuasan luar biasa yang tidak bisa dibandingkan dengan game lain.
Pertarungan bos juga menyimpan kejutan. Anehnya, bos pertama justru terasa paling sulit dibandingkan yang lain. Sebuah peringatan dini bahwa game ini tak akan memberi ampun sejak awal.
Sistem Upgrade: Kreatif tapi Kurang Praktis
Sistem peningkatan karakter menggunakan grid puzzle, di mana modul harus disusun rapi agar sesuai kapasitas. Konsep ini unik, namun implementasinya terasa kurang maksimal. Kesalahan kecil dalam penempatan bisa membuat penggunaan modul skill jadi sedikit, dan banyak pemain mungkin akan memilih untuk tidak terlalu pusing memikirkannya karena kurang intuitif.
Visual dan Atmosfer: Gaya Minimalis yang Kuat
Ghostrunner tidak menampilkan dunia cyberpunk megah seperti game AAA lainnya, namun cukup efektif dalam membangun atmosfer. Tata cahaya neon, dunia gelap dengan sentuhan industrial, serta efek partikel yang konsisten menciptakan suasana yang pas—dingin, kejam, dan mekanis.
Soundtrack elektroniknya menjadi elemen penting yang mendongkrak ketegangan saat aksi berlangsung. Sayangnya, efek suara pembantaian terasa kurang dramatis untuk sebuah game aksi cepat.
Performa dan Masalah Teknis
Secara umum, performa game di PC cukup stabil dan kontrol terasa presisi. Namun, aku sempat mengalami satu bug fatal: saat aku dan musuh mati bersamaan di titik checkpoint, karakterku tidak bisa digerakkan saat respawn. Solusinya? Restart game. Ini tidak menggangu tapi cukup menyebalkan karna harus mengulang gamenya. Mengingat betapa game ini sangat bergantung pada momentum dan ritme bermain, jadi hal kecil ini bisa sangat menyebalkan.
Layak Dimainkan, Tapi untuk Gamer Tertentu
Ghostrunner bukanlah game untuk semua orang. Tapi buat kamu yang suka tantangan, gameplay cepat, dan adrenalin tinggi—ini salah satu yang terbaik di genrenya. Setiap level dirancang dengan detail dan tantangan tersendiri, bahkan bisa bikin frustrasi kalau kamu tidak sabar atau kurang refleks. Tapi justru di situlah letak keseruannya.
Game ini sangat layak dibeli, apalagi kalau kamu memang tipe pemain yang suka “mati berkali-kali tapi tetap penasaran.” Saat review ini ditulis, harganya sekitar Rp 345.000 untuk versi standar. Kalau kamu menemukan game ini diskon di harga sekitar 100-200 ribu, itu deal yang sangat bagus, bahkan kalau kamu cuma pengin coba-coba. Untuk versi bundling dengan DLC, harganya bisa jadi lebih mahal, tapi tetap worth it kalau kamu suka tantangan dan ingin konten tambahan.
Kalau kamu merasa game ini sudah “jadul” karena sekuelnya sudah rilis, maka menunggu harga turun adalah pilihan bijak. Tapi kalau kamu ingin merasakan desain level yang menantang dan pengalaman platforming yang benar-benar intens, jangan ragu untuk langsung beli.
Rekomendasi: Cocok untuk gamer yang suka gameplay cepat, reflek tinggi, dan siap frustrasi karena mati terus. Tidak cocok buat kamu yang lebih suka cerita dalam game daripada tantangan gameplay.
Kesimpulan
Ghostrunner adalah kombinasi sempurna antara kecepatan, tantangan, dan gaya. Bukan game untuk semua orang—ini bukan soal cerita, bukan pula soal eksplorasi luas. Ini soal menguasai kontrol, membaca pola serangan, dan menghadapi rintangan yang terus berkembang.
Bagi gamer yang mencari tantangan intens dengan level desain cerdas dan gameplay yang adiktif, Ghostrunner adalah pilihan yang tidak akan mengecewakan. Tapi untuk mereka yang tak sabar atau tidak tahan mati puluhan bahkan ratusan kali? Lebih baik pikir ulang.
Serial ini berasal dari novel ringan bergenre fantasi-petualangan karya Chinkururi, yang pertama kali diluncurkan di situs Shousetsuka ni Narou pada Januari 2016. Novel ini kemudian diterbitkan oleh Micro Magazine di bawah label GC Novels dari November 2016 hingga Agustus 2020.
Manga adaptasinya yang digambar oleh Shuu Haruno mulai diserialkan melalui majalah daring Comic Ride sejak Maret 2018. Volume ke-11 dirilis pada Oktober 2024, sementara volume ke-12 menandai pengumuman adaptasi animenya.
Penerbit asal Amerika, Kaiten Books, telah melisensikan manga versi bahasa Inggris sejak Desember 2020 dan merilis volume ketujuh secara digital pada September 2024.
Sinopsis
Heihachi adalah seorang pecandu game gacha biasa, hingga suatu hari ia mendapatkan item spesial yang secara ajaib membawanya ke dunia lain. Dalam keadaan terdesak karena diserang monster, satu-satunya pilihan yang ia tahu hanyalah… gacha!
Dari putaran gacha tersebut, muncullah seorang gadis cantik yang nyata di hadapannya—tidak lagi sekadar karakter di layar ponsel. Bersama Norl, gadis tangguh dengan kemampuan tempur luar biasa, Heihachi memulai petualangan membentuk pasukan gadis-gadis terkuat dari hasil gacha, demi bertahan hidup dan mencari tujuan di dunia baru tersebut.
Lagu penutup: “Marie” oleh Myuk Kedua lagu tema ini ditampilkan dalam video promosi terbaru yang kini telah dirilis.
Tentang Produksi Anime
Anime ini disutradarai oleh Takayuki Kitagawa di studio LandQ Studio. Kenta Ihara bertanggung jawab atas komposisi seri dan penulisan naskah, sementara Akiko Satou menangani desain karakter. Musik dikomposisi oleh Kujira Yumemi.
Asal-usul Cerita
Tobirano memulai serialisasi cerita roman fantasi ini di situs Shousetsuka ni Narou pada Oktober 2019. Light novel ini kemudian diakuisisi oleh Futabasha dan diterbitkan melalui label M Novels F, dengan ilustrasi oleh Mai Murasaki. Volume kedelapan terbit pada 10 Januari 2025.
Adaptasi manga yang digambar oleh Chikage Nakakura dimulai di situs Gaugau Monster pada Juli 2020. Volume kedelapan manga telah dirilis pada 25 Desember, dan volume kesembilan dijadwalkan rilis pada 25 Juni 2025.
Dirilis lebih dari satu dekade lalu, Battlefield 4 tetap jadi salah satu game FPS berskala besar yang masih dicintai. Namun di 2025, pertanyaannya bukan lagi soal kehebohan pertempuran masifnya—melainkan: apakah game ini masih pantas dimainkan dan dibeli, terutama saat server mulai kehilangan pemain aktif?
Tabel Konten Artikel Review Battlefield 4
Review Battlefield 4 Versi Narasi
Tontonlah ulasan dalam bentuk video yang tersedia di bawah ini. Jika kamu lebih memilih menonton daripada membaca, klik di sini untuk mengaksesnya.
Gameplay Multiplayer Battlefield 4
Gameplay Campaign Battlefield 4
Multiplayer: Masih Menyala Tapi Mulai Redup
Jantung dari Battlefield 4 adalah multiplayer-nya. Mode Conquest tetap jadi favorit karena skala besar dan fleksibilitas gaya bermain. Saya sendiri cenderung memilih class Assault dan sesekali mencoba Engineer, namun jarang menyentuh Recon. Pilihan senjata saya jatuh pada AUG, SAR, dan G36C—senjata tipe bullpup dan carbine dengan efisiensi peluru tinggi di medan perang menengah.
Sayangnya, pengalaman bermain di 2025 sangat ditentukan oleh lokasi geografis. Sebagian besar server aktif berada di wilayah barat seperti Oseania dan Eropa, membuat ping di Asia Tenggara cenderung tinggi, rata-rata 180–200ms. Ini jelas memengaruhi performa tembak-menembak, terutama saat kontak langsung.
Meski begitu, sistem VOIP dan voice-line otomatis karakter membuat suasana tetap hidup, bahkan ketika bermain dengan random player yang diam. VOIP yang baik dan respons karakter tetap menjaga atmosfer pertempuran tetap imersif, walaupun komunitas sudah mulai mengecil.
Fitur Unik: Commander Mode
Salah satu fitur paling underrated di BF4 adalah Commander Mode—fitur yang unik dan hanya ada di seri ini. Mode ini memungkinkan pemain mengatur strategi dan memberi dukungan seperti UAV, supply drop, atau missile strike tanpa terlibat langsung dalam pertempuran. Ini adalah fitur taktis yang memberikan variasi dalam gaya bermain, terutama bagi pemain yang ingin berkontribusi tanpa terjun ke garis depan.
Campaign: Gagal Menyampaikan Cerita
Kampanye di Battlefield 4 patut dikritik habis-habisan. Ceritanya tidak jelas, konfliknya tidak kuat, dan koneksinya dengan Battlefield 3 hanya terasa lewat kemunculan dua karakter lama yang bahkan tidak diberi pengaruh signifikan pada plot. Bahkan hingga 2025, bug di campaign masih belum diperbaiki—beberapa misi bisa rusak total karena AI yang mogok atau event yang tidak bisa dipicu.
Namun, voice acting dari tiap karakter masih terasa solid. Sayang, naskah yang lemah membuat semua potensi itu tidak terasa maksimal. Secara keseluruhan, campaign bisa dilewati tanpa rugi apa-apa.
Visual dan Performa: Masih Stabil di 2025
Secara teknis, Battlefield 4 masih layak dipuji. Dengan engine Frostbite yang disempurnakan dari BF3, visual game masih terlihat enak di mata. Efek ledakan, kehancuran bangunan, dan pergerakan karakter masih terasa mulus dan realistis.
Multiplayer berjalan lancar di PC modern, bahkan saat adu tembak masif. Tidak ditemukan bug mayor di sisi gameplay online—hanya campaign yang masih dihantui oleh isu klasik.
Progres dan Sistem Unlock
Progres senjata terasa rewarding, meskipun beberapa item butuh map atau kondisi tertentu untuk dibuka. Ini bisa jadi tantangan tersendiri, tapi menambah nilai replayability. Sistem level terasa standar, tanpa adanya fitur tambahan seperti perk atau skill tree yang signifikan.
Apakah Masih Worth It di 2025?
Jawaban singkatnya: masih, tapi dengan syarat.
Dengan harga penuh yang masih bisa menyentuh Rp500.000-an, Battlefield 4 jelas tidak layak dibeli tanpa diskon. Namun, saat diskon 80–90% muncul, apalagi untuk Premium Edition, maka ini adalah pembelian yang masuk akal. Dengan harga di bawah Rp100.000, kamu mendapat akses ke semua DLC, map, dan pengalaman multiplayer yang masih punya jiwa meski komunitasnya mulai sepi.
Kesimpulan
Battlefield 4 adalah bukti bahwa game dengan usia lebih dari satu dekade masih bisa bertahan dengan gagah di tengah gempuran judul-judul baru. Kekuatan utamanya terletak pada desain multiplayer yang solid, sistem pertarungan yang cepat namun taktis, dan variasi map serta mode permainan yang beragam. Fitur seperti Commander Mode menambah kedalaman strategis yang tak ditemui di banyak game FPS lainnya hingga saat ini.
Namun, waktu tak bisa dibohongi. Komunitas pemain makin mengecil, server dengan ping rendah makin jarang ditemukan, dan campaign-nya terasa usang dan tidak relevan—terlebih dengan bug yang tak pernah tersentuh patch, bahkan hingga 2025. Itu membuat pengalaman solo benar-benar kehilangan daya tariknya.
Jika kamu pemain baru yang penasaran dengan akar kejayaan seri Battlefield, atau veteran yang ingin nostalgia dengan sistem tembak-menembak yang stabil dan map yang ikonik, Battlefield 4 tetap layak dicoba—asalkan dibeli dengan harga diskon yang masuk akal. Jangan berharap pengalaman kompetitif penuh, tapi kamu masih bisa menemukan momen-momen epik yang membuat game ini dulu sangat dicintai.
Cities: Skylines bukan sekadar game city-building biasa. Dirilis pertama kali pada 2015 dan terus mendapatkan dukungan lewat berbagai ekspansi serta mod komunitas, game ini tetap menjadi pilihan utama bagi penggemar simulasi perkotaan. Di tahun 2025, apakah game ini masih pantas dimainkan? Aku mengulasnya berdasarkan pengalaman pribadi menggunakan versi standar dengan beberapa DLC penting seperti Airports, Industries, After Dark, Green Cities, dan lainnya.
Tabel Konten Artikel Review Cities: Skylines
Review Game Cities: Skylines Versi Narasi Video
Jika kamu ingin meninjau versi video dari narasi tersebut, kamu dapat melihatnya di bawah ini atau melalui tautan berikut: di sini.
Gameplay Cities: Skylines
Pengalaman Bermain: Kota Tanpa Batas
Sebagai pemain lama dan penggemar city-building sejak era SimCity 2000, Cities: Skylines terasa sebagai evolusi yang menyenangkan. Aku memainkan game ini di mode sandbox—tanpa tekanan ekonomi, murni fokus pada desain dan manajemen kota.
Keunikan game ini adalah tingkat kebebasan dan fleksibilitas dalam membangun. Aku lebih suka membangun kota dengan lalu lintas lancar, tata letak rapi, dan area pembangunan merata. Salah satu eksperimen favoritku adalah membuat kota tanpa jalan tol antar distrik—mengandalkan kereta, pesawat, dan moda transportasi alternatif lainnya.
Kompleksitas Manajemen dan Tantangan
Manajemen kota dalam Cities: Skylines memang cukup mendalam. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan: distribusi utilitas, zona pembangunan, tingkat polusi, dan sistem transportasi. Tantangan terbesarku terletak pada sistem manajemen transportasi, terutama bus dan metro. Ketika kota makin berkembang, sistem ini harus terus diperbarui agar efisien. Kesalahan penempatan satu jalur saja bisa membuat seluruh sistem transportasi jadi tidak efektif.
Beruntung, komunitas modding aktif menyediakan berbagai mod utilitas yang memperbaiki keterbatasan game dasar. Misalnya, bangunan versi mod bisa punya kapasitas lebih besar dan tingkat polusi lebih rendah. Namun, aku tetap pilih-pilih dalam menggunakan mod agar tidak terlalu jauh dari logika realistis.
Kualitas Visual dan Audio
Grafik Cities: Skylines sebenarnya standar untuk genre-nya, tapi cukup optimal untuk performa jangka panjang. Karena game ini berbasis simulasi kompleks, grafis yang terlalu tinggi justru bisa memperlambat gameplay. Namun, elemen seperti asap, cahaya malam, dan efek ledakan dari industri tetap memberi nuansa yang realistis.
Musik dalam game juga menyenangkan, terutama dengan hadirnya DLC Radio yang menambah variasi soundtrack. Lagu-lagunya cukup nyaman di telinga dan cocok untuk sesi bermain yang panjang.
Kekuatan Komunitas dan Konten Tambahan
Salah satu kekuatan utama Cities: Skylines adalah komunitasnya. Mod komunitas sangat membantu—dari alat bangunan, sistem lalu lintas, hingga UI yang lebih informatif. Bahkan banyak fitur dari mod akhirnya diadopsi secara resmi oleh developer.
Namun, game ini juga punya kelemahan besar: sistem DLC-nya. Banyak fitur penting yang seharusnya masuk dalam game utama justru dikunci dalam DLC berbayar. Contohnya: pengelolaan taman bermain, sistem transportasi mendalam, dan sistem industri. Hal ini menjadikan Cities: Skylines terasa “nanggung” tanpa tambahan konten.
Stabilitas dan Masalah Teknis
Selama aku main di PC, game berjalan lancar tanpa crash. Namun, update baru atau rilis DLC sering menyebabkan mod bermasalah. Beberapa mod penting bisa tiba-tiba tidak kompatibel, dan ini berisiko merusak file simpanan kota jika sudah terlalu bergantung pada mod tersebut.
Selain itu, sistem cuaca terasa hambar. Tidak ada variasi musim seperti salju atau badai, kecuali kamu menggunakan mode atau DLC khusus.
Kesimpulan
Cities: Skylines masih sangat layak dimainkan di 2025, apalagi jika kamu pecinta game simulasi yang ingin membangun kota impian tanpa batasan. Game ini memberi pengalaman imersif, kompleks, dan fleksibel. Tapi perlu diingat, mod adalah elemen penting dalam pengalaman bermain, dan DLC tetap menjadi aspek kontroversial.
Jika kamu ingin pengalaman city-building yang mendalam, memuaskan, dan kreatif, Cities: Skylines adalah pilihan terbaik. Namun, pastikan kamu siap menginvestasikan waktu dan mungkin sedikit uang untuk menikmati versi terbaik dari game ini.
Di tengah lautan game tembak-tembakan modern, Hell Let Loose muncul sebagai pilihan alternatif yang serius, taktis, dan benar-benar immersive. Sebagai game semi-realistik berbasis Perang Dunia Kedua, game ini menantang kamu untuk berpikir seperti prajurit, bukan sekadar menembak dan menang. Dan setelah mencobanya sendiri di tahun 2025, aku bisa bilang: ini bukan game untuk semua orang, tapi jelas punya pesona yang kuat.
Tabel Konten Artikel Review Game Hell Let Loose
Review Game Hell Let LooseVersi Narasi Video
Jika kamu ingin meninjau versi video dari narasi tersebut, kamu dapat melihatnya di bawah ini atau melalui tautan berikut: di sini.
Gameplay Hell Let LooseSeries
Kesempatan Pertama, Tembakan Terakhir
Aku memainkan versi biasa Hell Let Loose di PC, dan sebagai pendatang baru di genre ini, aku langsung memilih role medis. Role ini terasa sebagai titik masuk yang paling masuk akal—minim tekanan, tapi tetap penting di garis depan. Yang menarik, meskipun aku bermain solo tanpa tim tetap, suasana di tiap match tetap terasa hidup. Komunikasi memang tidak selalu aktif, tapi cukup untuk membuat strategi berjalan.
Sebagian pemain memilih diam, mungkin karena kendala bahasa atau gaya bermain masing-masing. Tapi komunikasi dasar tetap bisa berjalan—entah lewat voice, chat, ping, atau sekadar saling mengikuti di medan perang.
Tempo Lambat, Tegangan Tinggi
Tempo permainan di Hell Let Loose bisa dibilang lambat—pacing antara match juga tak cepat. Tapi justru di situlah keistimewaannya. Setiap langkah di medan perang terasa penting. Tidak ada indikator peluru kena atau notifikasi kill. Jadi kamu harus benar-benar fokus, perhatikan situasi sekitar, dan seringkali, hanya bisa menebak apakah musuh sudah tumbang atau belum.
Setiap serangan bisa jadi yang terakhir. Kebanyakan senjata bisa membunuh dalam satu tembakan, dan karakter kamu bergerak lambat. Buat yang terbiasa main game FPS bergaya arcade seperti Counter Strike, Battlefield atau Call of Duty, game ini bisa terasa brutal di awal. Tapi setelah beberapa match, kamu akan mulai menghargai kedalaman taktik dan presisi kombatnya.
Medan Perang yang Hidup dan Menggugah
Grafis Hell Let Loose memang tidak bisa disamakan dengan game AAA modern. Tapi atmosfer yang dihadirkan benar-benar meyakinkan. Ledakan, asap, reruntuhan, dan cahaya matahari yang menyelinap di balik puing bangunan—semuanya bekerja sama menciptakan ilusi perang yang sangat kuat.
Suara juga punya peran besar. Dari langkah kaki di tanah berlumpur, suara pesawat di medan tempur, hingga dentuman artileri yang bergema di kejauhan, semuanya dirancang untuk memaksa kamu tenggelam dalam suasana. Bahkan di halaman loading screen, game ini memberi peringatan bahwa pengalaman bermain bisa terasa sangat mirip dengan kenyataan. Bukan karena sensasi aksi, tapi karena peta-petanya memang berdasarkan operasi militer nyata di era Perang Dunia Kedua.
Jadi, hal tersebut berfungsi sebagai semacam peringatan bagi pemain dari generasi tua atau mereka yang pernah mengalami peperangan di masa lalu. Seperti seorang kakek yang menyaksikan cucunya bermain game ini mungkin akan terkenang kembali pada pengalaman yang kurang menyenangkan.
Role, Progresi, dan Realisme
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di peran medis, tapi sempat juga membantu artileri—meskipun belum sampai tahap bisa menembakkan langsung karena butuh koordinasi kompleks dan pengetahuan peta yang baik. Kendaraan juga belum sempat aku gunakan karena levelku masih terlalu rendah, kecuali truknya.
Untuk progresi, game ini cukup menantang. Unlock senjata terasa lambat, dan sistem level tidak memberikan kesan “grind” seperti game FPS biasa. Namun, setiap role punya fungsi unik yang terasa signifikan. Ini bukan soal siapa paling cepat menembak, tapi siapa yang bisa bekerja sama paling efektif.
Stabilitas Server dan Kualitas Koneksi
Secara performa teknis, game ini cukup stabil. Tidak ada crash atau bug mengganggu sejauh pengalaman aku. Ping sedikit bervariasi, apalagi kalau server penuh dengan 100 pemain. Tapi dengan ping 90–150ms, gameplay masih bisa dinikmati dengan lancar.
Menariknya, matchmaking tidak sulit. Meskipun game ini cukup niche, server selalu ada yang aktif dan match bisa didapatkan dalam waktu singkat. Komunitasnya juga terasa cukup bersahabat—walau mayoritas pemain tetap fokus pada pertempuran.
Layak Dimainkan?
Jawabannya: iya, tapi dengan catatan. Kalau kamu terbiasa dengan FPS militer yang penuh ledakan dan gameplay cepat, game ini bisa terasa seperti “jalan kaki di medan tempur tanpa tujuan.” Tapi buat kamu yang penasaran dengan gameplay taktis, pengalaman mendalam, dan pendekatan semi-realistik yang intens, Hell Let Loose adalah game yang patut dicoba.
Tapi perlu dicatat, kamu akan jauh lebih nyaman kalau main bareng teman. Setidaknya satu squad kecil akan membuat pengalaman bermain jadi lebih hidup. Karena tanpa adanya penanda atau hitmarker, kamu butuh koordinasi untuk memastikan strategi berhasil.
Kesimpulan
Hell Let Loose bukan game FPS biasa. Ia menghadirkan pendekatan yang jauh lebih serius, realistis, dan menuntut kerja sama antar pemain secara strategis. Dengan atmosfer perang dunia kedua yang imersif, suara yang realistis, dan pacing permainan yang pelan namun menegangkan, game ini benar-benar menantang cara bermain para penggemar shooter.
Sebagai pemain pemula di genre semi-realistik, aku merasa game ini memberikan pengalaman yang sangat berbeda dari game FPS populer seperti Call of Duty atau Battlefield. Tidak ada notifikasi kill, tidak ada highlight flashy, bahkan tidak ada penanda musuh—semua berjalan organik dan apa adanya. Dan justru karena itulah, setiap langkah, tembakan, dan koordinasi terasa bermakna.
Namun, game ini juga tidak sempurna. Unlock senjata terasa lambat, komunikasi pemain bisa minim tergantung server, dan role tertentu seperti kendaraan sampai penggunaan artileri butuh pemahaman ekstra. Ditambah lagi, kualitas grafis yang tidak semewah game AAA masa kini mungkin menjadi faktor penentu bagi sebagian gamer.
Meskipun begitu, jika kamu ingin pengalaman perang yang otentik, dan siap beradaptasi dengan gaya bermain yang lebih taktis dan sabar, Hell Let Loose adalah pilihan yang sangat layak, bahkan di tahun 2025. Apalagi jika kamu bermain bersama teman satu tim, pengalaman yang kamu dapatkan akan jauh lebih dalam dan memuaskan. Game ini bukan tentang menang cepat—ini tentang bertahan dan bekerja sama di medan tempur yang brutal dan realistis.
Battlefield 3 (BF3) adalah salah satu game FPS yang memiliki tempat spesial di hati para gamer era 2010-an. Dirilis pada tahun 2011, game ini dikenal dengan pengalaman perang modern yang intens, visual yang mencolok, dan gameplay yang serius. Sekarang, di tahun 2025, saya memutuskan untuk mencoba kembali game ini melalui versi Premium Edition di PC. Mari kita bahas bagaimana rasanya memainkan BF3 di zaman sekarang.
Tabel Konten Artikel Review Battlefield 3
Review Battlefield 3 Versi Narasi
Tonton ulasan dalam format video di bawah ini atau klik di sini jika kamu lebih memilih menonton daripada membaca.
Gameplay Multiplayer Battlefield 3
Gameplay Campaign Battelfield 3
Kesan Reuni BF3 di Tahun 2025
Terakhir kali saya memainkan BF3 adalah pada tahun 2017, jadi kali ini benar-benar terasa seperti nostalgia. Saya memainkan mode campaign dan multiplayer, sementara mode co-op tidak saya coba karena sudah sepi pemain.
Tempo gameplay sangat tergantung pada peta yang dimainkan. Ada yang sangat kacau dan cepat, ada juga yang lebih lambat dan strategis. Class favorit saya tetap Engineer dan Medic. Untuk senjata, saya tidak memiliki favorit khusus karena saya bisa beradaptasi dengan hampir semua jenis senjata tergantung kebutuhan. Jika peta bersifat close combat, maka senjata dengan fire rate tinggi lebih diutamakan. Sebaliknya, untuk peta yang lebih terbuka, saya lebih memilih senjata dengan damage besar dan akurasi tinggi.
Visual dan Performa: Masih Tangguh
Meskipun sudah cukup berumur, visual Battlefield 3 masih mampu memberikan pengalaman bermain yang tidak kalah dibanding game modern. Efek ledakan, bangunan runtuh, dan pencahayaan dinamis masih terlihat mengesankan. Efek silau dari cahaya kadang terasa mengganggu, tapi justru menambah kesan realistis.
Selama saya bermain, tidak ada bug yang berarti. Performa juga sangat stabil di PC saya, tanpa penurunan frame rate atau stuttering.
Namun, pengaturan resolusi game terasa agak aneh. Hal ini karena monitor saya secara default maksimalnya beresolusi 1080p. Ketika saya menaikkan resolusi menjadi 1440p atau bahkan lebih tinggi, antarmuka sistem menjadi turut mengecil. Akibatnya, saat saya bermain dengan DSR di resolusi 4K, tampilan menu menjadi sangat kecil dan sulit dilihat. Hal ini tentu sangat menyulitkan, terutama bagi pemain dengan monitor berukuran kecil.
Audio: Tetap Menggelegar
Suara tembakan dan ledakan masih terasa kuat dan memuaskan, kendaraan juga terdengar realistis. Satu kekurangan mungkin ada pada suara langkah kaki yang kurang jelas, sehingga sedikit mengurangi kesadaran situasional di medan perang.
Musik dalam game bisa dikatakan biasa saja, namun soundtrack di multiplayer ketika pertandingan hampir berakhir cukup mampu membangun ketegangan. Meskipun hanya menggunakan stereo, audio terasa seperti memiliki efek 3D—mungkin karena penempatan suara yang baik di dalam game. Hal ini menambah kesan imersif saat bermain.
Voice lines atau dialog karakter di mode multiplayer menjadi poin tambahan yang menyenangkan. Fitur ini jarang ditemukan di game sejenis dan berhasil menambah kesan hidup dalam pertempuran. Walaupun sederhana, kehadiran voice lines ini memperkuat nuansa intensitas saat bertarung.
Progres dan Konten
Dengan Premium Edition, saya sudah memiliki akses ke semua DLC dan senjata yang tersedia. Karena semua konten sudah terbuka, saya tidak bisa menilai sistem progres sekarang. Namun, saya masih ingat bahwa ketika pertama kali bermain, progres membuka senjata terasa menyenangkan dan cukup menantang.
Mode co-op yang dulu cukup menarik sekarang sudah sulit diakses karena tidak ada pemain yang aktif. DLC masih memiliki nilai, terutama dari segi variasi senjata. Sayangnya, tidak semua peta DLC sering dimainkan karena server yang tersedia sekarang cenderung memilih-milih konten.
Server dan Komunitas: Sudah Sepi dan Hampir Mati
Bermain dari Asia Tenggara menjadi tantangan tersendiri. Server aktif sebagian besar berada di Australia, Eropa, dan Amerika. Akibatnya, ping bisa mencapai 200 hingga 500ms, yang tentu sangat mengganggu untuk game kompetitif.
Sistem menu multiplayer yang diakses melalui browser terasa sudah usang. Selain itu, sistem anti-cheat PunkBuster masih digunakan dan kadang salah mendeteksi pemain, menyebabkan saya dikeluarkan dari pertandingan secara tidak adil.
BattleLog – BF3
Multiplayer vs Campaign
Multiplayer tetap menjadi daya tarik utama Battlefield 3. Kombinasi antara infanteri dan kendaraan darat, udara, serta beberapa elemen laut (meskipun terbatas seperti kapal kecil) menciptakan kekacauan yang menyenangkan. Sayangnya, karena server mulai sepi, potensi game ini tidak bisa dirasakan sepenuhnya.
Mode campaign tidak begitu menonjol. Ceritanya terasa datar, tidak jelas arahnya, dan terkesan hanya sebagai alat untuk memamerkan grafis dan efek sinematik. Voice acting-nya pun kurang bersemangat, padahal latar cerita adalah medan perang. Cerita dalam campaign Battlefield 3 tidak memiliki kekuatan naratif yang berarti. Alurnya seperti hanya mengejar target, dan adegan dramatis pun terasa dibuat-buat.
Kesimpulan
Battlefield 3 tetap menarik untuk dimainkan kembali di tahun 2025, khususnya bagi pemain lama yang ingin bernostalgia. Game ini masih menyajikan pengalaman multiplayer berskala besar dengan atmosfer perang yang khas. Sayangnya, pengalaman tersebut sudah tidak maksimal karena keterbatasan server aktif, terutama bagi pemain di Asia Tenggara.
Mode campaign tidak memberikan banyak nilai lebih, sehingga game ini sebaiknya tidak dijadikan pilihan utama jika hanya ingin bermain mode cerita. Jika tertarik untuk mencoba, pastikan membelinya saat diskon besar karena harga normalnya sudah tidak sepadan dengan umur gamenya.
Kesimpulannya, Battlefield 3 adalah game yang layak dikenang dan sesekali dimainkan, tapi sudah tidak relevan untuk penggunaan jangka panjang atau permainan kompetitif di era game modern.