Review DOOM: The Dark Ages – Kekacauan Brutal dalam Balutan Era Abad Pertengahan

REVIEW OVERVIEW

Gameplay
10
Cerita
8
Visual
9
Audio
10
Musik
10
Perfoma
9
Karakter
8
Aksi cepat, desain solid, dan atmosfer epik menjadikan DOOM: The Dark Ages salah satu FPS terbaik tahun ini.

Tetap Terhubung

Untuk Konten Yang Lebih Eksklusif!

- Iklan -

Kembalinya Doomguy, Tapi Lebih Kuno dan Lebih Brutal

Setelah penantian panjang, DOOM: The Dark Ages akhirnya tiba, menghadirkan pengalaman baru yang mengguncang bagi para penggemar FPS. Tapi kali ini, alih-alih setting futuristik penuh teknologi seperti seri sebelumnya, id Software justru membawamu ke dunia gelap dengan nuansa abad pertengahan yang unik. Aku memainkan game ini sejak 1 Juni hingga tamat pada 29 Juni 2025, dengan total waktu bermain sekitar 21 jam—termasuk eksperimen grafis ray tracing dan streaming yang sedikit mengganggu fokus.

Sebagai orang yang belum pernah menyentuh seri DOOM sebelumnya, pengalaman ini benar-benar jadi pembuka mata. The Dark Ages bukan hanya prekuel dari DOOM (2016), tapi juga sukses membangun ulang citra Doomguy dalam gaya yang lebih epik, lebih brutal, dan lebih sinematik.

Review DOOM: The Dark Ages

Silakan lihat ulasan dalam format narasi video di bawah ini, atau klik di sini untuk menontonnya.

Gameplay DOOM: The Dark Ages

Gameplay yang Seimbang, Cepat, dan Tetap Brutal

Sistem Kombat yang Fresh untuk Pemain Baru

Meskipun ini DOOM pertamaku, aku langsung klik dengan sistem kombatnya. Di tingkat kesulitan “Hurt Me Plenty” (tingkat kedua dari enam), game ini memberikan keseimbangan antara tantangan dan aksesibilitas. Kombat cepat, responsif, dan sangat adiktif. Timing adalah kunci, apalagi saat melawan musuh yang datang bergelombang tanpa ampun.

DOOM The Dark Ages Senjata Anime News Plus Prima Channel

Setiap senjata di game ini punya karakter unik. Ini senjata – senjata kesuakaan Aku. Ada Super Shotgun jadi favorit utamaku karena damage-nya brutal dalam jarak dekat. Sebelum dapat Super Shotgun, aku sempat terpikat sama Combat Shotgun, terus Shredder (versi SMG dengan bentuk crossbow otomatis), dan Accelerator yang punya efek ledakan di level akhir. Ada juga Rocket Launcher dengan upgrade menyerap darah musuh—efektif dan satisfying. Untuk melee, Dreadmace adalah juaranya. Aku suka menyebutnya “senjata pentungan Majapahit”, karena setiap pukulan terasa powerful dan menyenangkan.

Sayangnya, ada dua senjata yang paling jarang aku gunakan yaitu: Chainshot dan Grenade Launcher. Bukan karena lemah, tapi feel penggunaannya agak kurang memuaskan.

DOOM The Dark Ages Level Anime News Plus Prima Channel

Level Desain, Musuh, dan Pacing yang Ketat

Desain level mulai terasa sangat menarik dari Chapter 15 ke atas hingga akhir di Chapter 22. Pacing-nya cepat—kamu nggak bakal dikasih napas sampai semua musuh di ruangan musnah. Kombinasi arena tertutup dan gelombang musuh membuat setiap pertempuran seperti tarian kematian yang brutal dan cepat.

Musuh juga cukup bervariasi dan memaksa kamu mikir cepat. Ada “Cacodemon Hybrid” yang bisa terbang, “Agaddon Hunter” dengan shield menjengkelkan, “Revenant” yang tembus pandang, hingga “Cyberdemon” dan “Cosmic Baron” yang brutal. Yang paling ngeselin mungkin “Acolyte”, penyihir pelari cepat yang harus dibunuh lewat clone-nya dulu. Tantangannya tetap terasa bahkan di mode normal—nggak kebayang di mode lebih tinggi.

- Ikuti Channel Gaming ANP Klik Ikonnya Aja-Channel Youtube Prima

Cerita yang Lambat di Awal, Tapi Bikin Ketagihan di Akhir

Satu hal yang sedikit mengganggu di awal adalah penyampaian cerita yang agak kabur. Game dimulai dengan situasi chaos, Doomguy langsung menuju medan perang, dan juga ada kesan seperti sedang dikendalikan. Tapi setelah mencapai Chapter 10 keatas, ceritanya mulai membentuk arah yang jelas. Fokus balas dendam setelah Doomguy dibunuh oleh Ahzrak jadi titik balik cerita yang bikin emosional. Bahkan aku dapat achievement “Too Angry to Die”—sebuah penutup yang pas untuk perjalanan berdarah ini.

Salah satu momen paling epik adalah saat naga Doomguy mati untuk melindunginya. Dari situ, nuansa balas dendam ke para demons makin kental.

Visual, Suara, dan Atmosfer yang Selaras

Secara teknis, grafis The Dark Ages bukan yang paling mewah, tapi sangat pas untuk atmosfer gelap dan penuh peperangan. Dengan ray tracing aktif, game terlihat lebih cerah dan kaya warna, meskipun art direction-nya memang dirancang untuk dunia yang suram. Dunia ini terasa seperti kerajaan abad pertengahan yang dijejali teknologi futuristik—kombinasi yang aneh tapi somehow masuk akal.

Soundtrack punk-rock dan efek suara yang menghentak benar-benar mendukung intensitas gameplay. Cutscene dan animasi pun dikerjakan dengan baik, memberikan nuansa sinematik tanpa mengurangi kesan “DOOM” yang brutal.

Performa & Optimisasi di PC Modern

Sebagai gamer PC, aku selalu penasaran seberapa optimal sebuah game modern berjalan di hardware kekinian apalagi aku baru pakai GPU baru yaitu 5070 Ti—dan DOOM: The Dark Ages termasuk salah satu game yang mendorong performa secara ekstrem. Aku memainkan game ini di resolusi 1440p dengan pengaturan grafis rata kanan dan fitur Frame Generation (FG) aktif sebanyak 4x.

Tanpa ray tracing, game ini melaju mulus di atas 250 fps menggunakan preset DLSS DLAA, yang sangat ideal untuk gameplay super cepat khas DOOM. Namun saat ray tracing diaktifkan, performa menjadi lebih bervariasi tergantung preset DLSS yang digunakan:

  • DLSS DLAA: 20–50 fps (rata-rata 25 fps)
  • DLSS Quality: 30–70 fps (rata-rata 40 fps)
  • DLSS Balance: 50–80 fps (rata-rata 50 fps)
  • DLSS Performance: 60–120 fps (rata-rata 65 fps)
  • DLSS Ultra Performance: tidak bisa dinilai akurat karena terjadi bug fatal—saat aku coba karakter utama diam tak bergerak, tapi kemungkinan FPS bisa mencapai 90–150 fps jika bug tersebut diperbaiki.

Secara teknis, game DOOM: The Dark Ages sangat stabil untuk dimainkan dalam kondisi normal. Selama campaign, aku tidak menemukan bug atau crash besar yang mengganggu gameplay. Namun, saat merekam gameplay—khususnya di adegan pertempuran intens—aku menemukan adanya stuttering dalam hasil video, kemungkinan karena tekanan berat dari kombinasi ray tracing dan efek partikel di layar yang sangat aktif. Meskipun tidak mempengaruhi gameplay secara langsung, ini bisa jadi catatan bagi content creator yang ingin merekam footage berkualitas tinggi sambil main.

Secara keseluruhan, optimisasi game ini tergolong solid untuk hardware high-end modern. Tapi jelas, penggunaan ray tracing butuh pertimbangan ekstra, terutama untuk pengguna yang ingin bermain sambil record atau streaming. Untungnya, tanpa ray tracing pun, visual tetap impresif dan gameplay tetap terasa maksimal.

Secara pribadi, aku lebih memilih bermain tanpa menggunakan fitur ray tracing. Alasannya, fps-nya kurang stabil di atas 60, sementara bagi aku, game ini memerlukan latency serendah mungkin agar responsif. Selain itu, jika ray tracing diaktifkan, apalagi dengan frame generation, visualnya justru tampak seperti slow motion. Di sisi lain, tampilan visual game ini juga bukan menjadi daya tarik utama atau sesuatu yang istimewa. Dengan pertimbangan tersebut, aku merasa lebih nyaman memainkan game ini tanpa ray tracing demi pengalaman bermain yang optimal.

- Iklan -

Replayability dan Harga: Apakah Layak Beli?

Kalau kamu bertanya apakah game ini layak untuk dimainkan ulang, jawabannya: ya, sangat. Salah satu daya tarik utama dari DOOM: The Dark Ages adalah replayability-nya yang kuat. Game ini menyediakan pilihan tingkat kesulitan hingga enam level berbeda.

Secara resmi, game ini diklaim bisa ditamatkan dalam waktu sekitar 14 jam jika hanya fokus pada cerita utama tanpa eksplorasi. Tapi dari pengalamanku, dengan tambahan sesi eksperimen grafis ray tracing dan live streaming, waktu bermainku mencapai 21 jam, meskipun gameplay bersihnya sekitar 18–19 jam. Ini menunjukkan bahwa durasi game bisa fleksibel tergantung gaya bermain masing-masing.

Selain itu, game ini juga menyimpan potensi eksplorasi ulang: mulai dari menemukan collectible seperti gold, ruby, dan wraithstone, hingga mencoba ulang berbagai senjata dengan pendekatan yang berbeda. Fitur quick save dan sistem peta 3D sangat mendukung pengalaman eksploratif dan membuat proses replay tetap menarik, terutama bagi yang ingin menyempurnakan strategi dalam melawan demon yang lebih ganas.

Untuk harga, aku membeli versi standar dengan harga Rp1.000.000. Menurutku itu cukup sepadan dengan kualitas yang ditawarkan. Tapi kalau kamu belum familiar dengan seri DOOM, harga idealnya mungkin ada di kisaran Rp750.000. Tetap saja, dari sudut pandang gamer FPS, game ini masih layak dibeli full price, apalagi jika kamu menyukai tantangan, tempo cepat, dan atmosfer gelap yang kental.

Kesimpulan: DOOM yang Segar, Brutal, dan Layak Dinikmati

DOOM: The Dark Ages membuktikan bahwa formula klasik bisa dibawa ke arah yang lebih segar tanpa kehilangan identitas brutalnya. Meskipun ini adalah entri prekuel dan mengambil latar dunia yang lebih kuno, game ini tetap mempertahankan semangat khas DOOM—tembak cepat, lawan demon, dan jangan pernah berhenti bergerak.

Sebagai pendatang baru di franchise ini, aku benar-benar terkesan dengan bagaimana game ini memperkenalkan dunianya. Meskipun ceritanya terasa membingungkan di awal, narasinya berkembang kuat di pertengahan hingga akhir. Doomguy mungkin tetap karakter bisu, tapi setiap aksinya berbicara lebih keras dari kata-kata—terutama saat ia bangkit kembali dari kematian demi membalas dendam.

Gameplay adalah bintang utama di sini. Setiap senjata terasa punya bobot, setiap demon punya pola serangan unik, dan level-levelnya dirancang untuk memaksa pemain berpikir cepat sambil tetap agresif. Ditambah dengan soundtrack metal yang menghentak dan atmosfer yang mendukung, The Dark Ages menghadirkan pengalaman FPS yang imersif, memacu adrenalin, dan benar-benar memuaskan.

Dari sisi teknis, performanya solid di PC modern, meskipun penggunaan ray tracing perlu pertimbangan khusus. Tapi dengan atau tanpa fitur tersebut, game ini tetap berjalan dengan baik dan memberikan pengalaman visual yang cukup menggugah.

Untuk gamer FPS, baik yang baru mencoba DOOM maupun yang sudah veteran, game ini menawarkan cukup banyak alasan untuk dicoba. Replayability-nya tinggi, durasinya fleksibel, dan sensasi kombatnya nyaris tak tertandingi di genre sejenis. Ini adalah jenis game yang setelah tamat, kamu langsung berpikir: “Gue harus coba mode lebih susahnya!”

Singkatnya, DOOM: The Dark Ages adalah paket lengkap: seru, menegangkan, dan penuh momen badass yang sulit dilupakan. Sebuah bukti bahwa bahkan setelah puluhan tahun, DOOM masih bisa berevolusi tanpa kehilangan jiwa liarnya.

- Iklan, Terakhir-
Mulai berlanggan ke channel aku dan dapatkan konten terbaru setiap harinya.

Artikel Terbaru

Nosphire
Nosphire
New Day New Gameplay

3 KOMENTAR

0 0 votes
Penilaian Artikel
Langganan
Beri tahu tentang
guest
3 Komentar
Dulu
Terbaru Terbanyak Terpilih
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar